PENGERTIAN,
RUANG LINGKUP DAN HUBUNGAN ANTARA TAUHID, FIQIH DAN TASAWUF
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam agama islam terdapat tiga ajaran yang sangat
ditekankan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang harus diamalkan dan dibenarkan dalam
hati. Yaitu Tauhid (Aqidah), fiqih (syari’ah), Tasawuf (akhlaq). Tetapi sekarang-sekarang
ini ada yang mengabaikan salah satu dari tiga hal ini. Sehingga kehidupannya
menjauh dari agama.
Dasar ajaran islam yang terdiri dari aqidah,
syari’ah, dan tasawuf sering sekali di lupakan keterkaitannya. Contohnya :
seseorang melakukan sholat, berarti dia melakukan syari’ah. Tetapi sholat itu
dilakukannya untuk membuat kagum orang-orang disekitarnya, berarti dia tidak
melaksanakan aqidah. Karena sholat itu dilakukannya bukan karena Allah SWT,
maka sholat itu tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri ataupun orang lain.
Alhasil, dia tidak mendapatkan manfaat pada akhlaqnya. Itulah yang menjadikan
suatu perbuatan yang seharusnya mendapat ganjaran pahala, tapi malah menjadi
suatu kesia-siaan karena tidak dilakukan semata-mata karena Allah.
Penyusunan makalah ini, penulis berharap dapat
menegaskan kembali mengenai kerangka dasar ajaran islam yang terdiri dari :
aqidah, syari’ah, dan tasawuf.
B.
Rumusan masalah
1. Apa
pengertian tauhid, fiqih, dan tasawuf?
2. Bagaimana
rusng lingkup tauhid, fiqih, dan tasawuf?
3. Bagaimana
hubungan tauhid, fiqih, dan tasawuf?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf
1.
Pengertian Tauhid
Ilmu Tauhid secara harfiah, berarti ilmu tentang
keesaan Allah swt. Sebagaimana diketahui bahwa, masalah keesaan Tuhan adalah
bagian dari masalah-masalah aqidah yang paling utama, karena “mengesakan Allah”
itu tujuan hakiki dari aqidah islam, maka ilmu tentang aqidah islam dinamakan
dengan Tauhid.
Sebutan ilmu kalam maksudnya adalah kalamullah
sebagai objek bahasan. Itulah sebabnya, mengapa para ulama’ berbeda pendapat
tentang alasan penamaan ilmu kalam.
Definisi ilmu kalam selanjutnya dapat dilihat pada beberapa
definisi yang dirumuskan para ulama’ berikut ini:
1. Hassan
Hanafi menyatakaan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu pengetahuan yang menggunakan
firman Allah, yakni Al-Qur’an sebagai objek atau karena diskursus utama dalam
ilmu ini adalah problematika sekitar apakah Al-Qur’an( kalamullah) itu qodim
atau Hadits(Hassan Hanafi, 2003:1).
2. Menurut
Muhammad Abduh “Ilmu Tauhid adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas tentang
sifat-sifat yang wajib, yang jaiz ada dan yang harus tidak ada(mustahil)
bagi-Nya. Dan (dibahas pula) tentang para Rosul untuk meyakini keutusan mereka,
tentang sifat-sifat yang wajib, yang jaiz dipunyai dan yang tidak
boleh(mustahil) (M.Abduh, tt:7).
3. Ibnu
Kaldun dalam muqoddimahnya, menjelaskan bahwa: Ilmu Kalam adalah ilmu yang
berisi argument-argumen rasional untuk membela aqidah-aqidah imaniah dan berisi
pula bantahan terhadap golongan bid’ah yang dalam bidang aqidah menyimpang dari
madzhab salaf dan madzhab ahlussunnah (Ibn Kaldun, tt:326).
4. Husein
Afandi Al-Jisr dalam Al-Hushun Al-Hamidiyah menyebutkan bahwa: ilmu tauhid
adalah ilmu yang melakukan bahasan tentang penetapan aqidah-aqidah agama dengan
dalil-dalil yang meyakinkan (nyata)(husein Afandi, tt :7).
5. Menurut
Ahmad Fuad al Ahwani dalam al falsafah al islamiyah ditegaskan bahwa : ilmu kalam
adalah memperekuat aqidah-aqidah agama islam dengan argument-argumen nasional,
atau dengan kata lain, merupakan rangkaian argumentasi rasional yang disusun
secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran aqidah agama islam (al Ahwani,
1962 :18).[1]
2. Pengertian Fiqh
Secara bahasa,
fiqh berarti tahu, paham dan mengerti, hal ini dipakai secara khusus dalam
bidang hokum agama ( Yurisprodensi Islam)[2].
Berarti fiqh secara bahasa adalah keterangan tentang pengertian atau paham dari
maksud ucapan si pembicar, atau pemhaman yang mendalam terhadap maksud – maksud
perbuatan dan perkataan.[3]
Kata
fiqh pada mulanya digunakan oleh masyarakat arab untuk menyebut orang yang ahli
dalam mengawinkan onta, yang mampu membedakan onta betina yang sedang birahi
dan onta betina yang sedang bunting. Itulah sebabnya, bangsa arab sangat akrab
dengan ungkapan fahmun faqihun
sebagai julukan bagi pakar onta.[4]
Untuk dapat meengawinkan onta dan membedakanya antara yang birahi dengan yang
bunting dibutuhkan pengetahuan yang mendalam guna menghindari kemungkinan
terjadinya kekeliruan.
Dari uraian ini dapat dikembangkan tenta ng
pengertian fiqh secara umum, yaitu “ pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu
“. Namun begitu, dalam sejarah perkembangan islam tamoaknya kata fiqh lebih
banyak dipergunakan dalam pengertian untuk memahami agama daripada yang lain.
Al Quran sendiri kelihatanya mempergunakan kata fiqh dalam kontek pemahaman
terhadap masalah – masalah agama. Misalnya dalam firman Allah, “ liyatafa’qqahu fi al – din “ ( Q.S 9 :
122 ) dan sabda nabi “ Allahumma faqqihu fi al – din “ menunjukkan, bahwa
istilah fiqh tidak dimaksudkan untuk pengertian memahami agama dari aspek hukum
semata melainkan untuk memahami agama ( secar mendalam ) dengan berbagai
aspeknya. Kedua ungkapan itu menggambarkan betapa luas ruang lingkup istilah
fiqh pada masa awal islam. Hingga abad ke 2 H, istilah fiqh masih mencangkup
masalah teologis, disamping masalah hukum.
Sebuah buku berjudul al - fiqh al – akbar yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah ( w. 150
H/ 167 M) hampir sepenuhnya berkisar pada masalah dokmatik dan teologi. Buku
ini ditulis jawaban terhadap kepercayaan
sikte qodaiyah tentang prinsip – prinsip dasar islam seperti aqidah, ke -Esa -
an Allah, kehidupan akhirat atau kenabian yang semua wilayah teologi. Untuk
memberikan gambaran komperehensip tentang masalah ini, dapat disebutkan, bahwa Abu Hanifah mendefinisikan fiqh sebagai
ma’rifat al- nafs malaha wama’alaiha (
pengetahuan seseorang tentang hukum-hukum dan kewajiban-kewajibanya).[5]
Dalam
pengertian terminologis,fiqh adalah hokum-hukum syara’yang bersifat praktis
(amaliah) yang diperoleh dalil-dalilyang rinci. Contohnya hokum wajib sholat,
diambil dari perintah Allah dalam ayat aqimu al-shalat (dirikanlah shalat).
Karena dalam Al Qur’an tidak dirinci bagaimana tata cara menjalankan
shalat,sebagaimana kalian melalui sabda Nabi Muhammad : “kerjakanlah shalat,
sebagaimana kalian melihat aku menjalankannya” (shallu kama raaitumuni
ushalli). Dari praktek Nabi Muhammad inilah, para sahabat, tabi’in, dan fuqaha’
merumuskan tata aturan shalat yang benar dengan segala syarat dan rukunnya.
Secara
terminologis (istilah) menurut ulama-ulama syara’ (hokum Islam), fiqh adalah
pengetahuan tenttang hokum-hukum yang sesuai dengan syara’ mengenai amal perbuatan
yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafsili (terinci), yakni dalil-dalin
atau hokum-hukum khusus yang diambil dari dasar-dasarnya (al Quran dan sunnah).[6]
Jadi fiqh menurut istilah adalah pengetahuan mengenai hokum agma islam yang
bersumber dari al quran dan sunnah yang disusun oleh mujtahid dengan penalaran
ijtihad. Dengan kata lain fiqh adalah ilmu pengetahuan mengenai hokum agama
islam.
Pengertian fiqh
lebih rincinya, sebagaimana ungkapan Ahmad Rofiq, [7] mengutip
dari pembaharuan pemikiran dalam hokum islam tulisan Amir Syarifuddin, sebagai
berikut :
1. Bahwa
fiqh itu adalah ilmu tentang hokum syara’
2. Bahwa
yang dibiccrakan fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu’iyah
3. Bahwa
pengetahuan tentang hokum syara’ itu didasarkan kepada dalil tafshili (rinci),
4. Bahwa
fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal (penggunaan dalil) si
mujtahid atau faqih.[8]
Dalam
perkembangan terakhir fiqh dipahami oleh kalangan ahli ushul fiqh, sebagai hukum
praktis hasil ijtihad,[9]
karenanya fiqh identik dengan ijtihad sedangkan faqih identik dengan mujtahid.
Kalangan fuqoha (ulama’ fiqh) pada umumnya mengartikan fiqh sebagai kumpulan hukum islam yang mencakup semua aspek hukum syar’I,[10] baik
yang tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran atau teks. Pada sisi lain
dikalangan ahli ushul fiqh, konsep syari’ah dipahami dengan pengertian “teks
syar’i” yakni sebagai “al-nash al-muqoddatsah” yang tertuang dalam Al-qur’an
dan Hadits yang tetap, tidak mengalami perubahan.[11]
3.
Pengertian Tashawwuf
Pada hakikatnya Tashawwuf adalah mematikan nafsu
egoisme secara berangsur-angsur hingga menjadi pribadi yang sempurna seperti
bayi yang baru lahir. Menjalankan kehidupan shufi berarti membuang jauh-jauh
perbuatan jeleknya seperti ular melepaskan kulitnya. Tashawwuf bertujuan untuk
memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari tuhan. Hubungan tersebut sangat
sacral karena manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Dengan kesadaran
terjadinya kontak berkomunikasi atau dialog antara ruh manusia dengan Tuhan.
Ini harus dilakukan dengan cara mengasingkan diri.
Ajaran tashawwuf adalah ajaran kebersihan batin
(hati), yang hanya bertujuan semata-mata untuk bisa memasuki hadhratul qudsiyah
( hadrat kesucian) dengan makrifat (pengenalan kepada Allah) sesempurna
mungkin, agar bisa musyahadah (penyaksian), mukasyafah (terbuka tirai) dengan
siraman Mahabbah daripada-Nya.
Dalam
kitab Ar-Risalah, Imam Al Qusyairi Rahimahullah telah menulis tentang
pendapat-pendapat yang berhubungan dengan asal kata tashawwuf:
1. Ada
yang menyatakan perkataan tashawwuf berasal dari kata shuf (bulu domba/wol).
Jika seseorang memakai baju atau pakaian bulu domba atau wol maka dia sudah
dianggap orang ber tashawwuf, sebagaimana perkataan taqammash yang berasal dari
kata qamish bermakana memakai baju gamis. Ini merupakan salah satu pandangan
namun para kaum sufi tidak memaksakan diri mereka dengan salah satu ciri khas
tertentu.
2. Adapula
yang berpendapat bahwa kaum shufi erat kaitannya dengan serambi (ahs-Suffah)
masjid Nabi SAW. Di Madinah. Orang-orang yang menetap di serambi masjid itu
dinamakan ahlu-shuffah, pada dasrnya penisbatan sifat ini juga tidak sesuai
dengan para sufi.
3. Ada
juga kelompok yang mengatakan bahwa tashawwuf itu berasal dari perkataan
ash-shafa’, yang artinya adalah kejernihan (ketulusan). Namun, kata-kata ini
sangatlah jauh jika ditinjau dari pecahan kata dasar menurut bahasa arab.
4. Ada
yang mengatakan bahwa tashawwuf itu berasal dari kata shaff, yang bermakna
barisan. Seakan-akan orang-orang sufi ini selalu berada dalam shaf-shaf shalat.
Atau juga disebutkan bahwa hati para kaum sufi selalu ada dalam barisan yang
terdapat dalam muhadharah dihadapan Allah swt. Dalam segi arti memang benar,
tetapi kata sufi tidak dapat menjadi bentuk fa’il dari kata shaff.
Syaikh Muhammad Amin Al Kurdy mengatakan bahwa
tashawwuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan
dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan
tercela serta mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk,
malangkah menuju (keridoan) Allah dan meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada
(perintah-Nya).
Al Ghazali mengatkan bahwa tashawwuf berarti budi
pekerti ; barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, bermakna ia
memberikan bekal atas dirimu dalam tashawwuf. Maka hamba yang jiwanya menerima
(perintah) untuk beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur
(petunjuk) islam. Dan ahli Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan
beberapa Akhlaq( terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur
(petunjuk) imannya.
Junaid
Al Baghdadi mengatakan bahwa tashawwuf adalah Allah mematikan kelalaianmu dan
menghidupkan dirimu dengannya. Sedangkan Abu Bakar Muhammad Al-Kattani berkata
bahwa tashawwuf adalah kejernihan dan kesaksian. Ja’far al-Khalidi mengatakan
bahwa tashawwuf adalah memusatkan segenap jiwa raga dalam bieribadah dan keluar
dari kemanusiaanserta memandang pada al Haq secara menyeluruh. Sedangkan Abu Sa’id al- Kharraz mengatakan bahwa
tashawwuf adalah orang-orang yang dijernihkan hati sanubarinya oleh Allah dan
telah dipenuhi dengan cahaya.mereka tenang bersama Allah.
Perbedaan pendapat tentang definisi tentang
tashawwuf baik dari segi makna atau dari segi eksistensinya tidak perlu
dipersoalkan karena yang penting bagaimana kita sikapi dengan hati yang jernih
dan pikiran yang lapang. Perkara yang paling penting dalam mempelajari ilmu
tashawwuf adalah bagaiman kita berakhlaq mulia terutama dalam bermunjah kepada
Allah swt dan juga bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah dalam setiap
saat. Kehadiran Allah dalam manusia itu penting untuk membebaskan diri dari
ketergantungan kepada makhluk lain, memebebaskan diri dari kecintaan kepada
selain-Nya, membebaskan diri dari ketakutan kepada selain Dia Yang Maha Perkasa
dan sebagainya.[12]
B. Ruang Lingkup Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf
1.
Ruang lingkup Tauhid
a. Tauhid Hakikiyah (Teoritis).
Yaitu ajaran tentang meng-Esa-kan
Allah yang masih bersifat melangit, dimana tauhid hakikiyah atau tauhid
teoritis ini ruang lingkupnya hanya sebatas dalam tataran akal dan keyakinan
yang bersifat melangit, belum dalam bentuk tataran syari’at, aturan atau
perundang-undangan nyata yang diterapkan dalam tatanan hidup bermasyarakat dan
bernegara.
Yang termasuk ke dalam kelompok ajaran tauhid
hakikiyah atau tauhid teoritis adalah:
1. Tauhid fii
Dzat Allah (Meng-Esa-kan Allah dalam hal Dzat-Nya).
2. Tauhid fii
Sifat Allah (Meng-Esa-kan Allah dalam hal Sifat-Sifat-Nya).
3. Tauhid fii Asma’Allah (Meng-Esa-kan Allah
dalam hal Nama-Nama-Nya).
4. Tauhid
fiil Af’al Allah (Meng-Esa-kan Allah dalam hal Pekerjaan-Nya).
b. Tauhid
syar’iyah (Praktis).
Yaitu ajaran
tentang meng-Esa-kan Allah yang bersifat konkrit dalam bentuk syari’at atau
aturan nyata yang diterapkan dalam seluruh aspek tatanan kehidupan
bermasyarakat, dimana ruang lingkup tauhid ini tidak hanya sebatas tataran
akal, keyakinan dan lisan saja, akan tetapi mencakup aktualisasi dalam bentuk
sikap dan perbuatan nyata yang diterapkan dalam seluruh aspek tatanan kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara dengan menjadikan Allah SWT sebagai
satu-satunya sumber Rububiyah (aturan atau legalitas), sumber Mulkiyah
(kewenangan atau otoritas) dan sumbur Uluhiyah (keta’atan atau loyalitas).
Yang termasuk
ke dalam kelompok ajaran tauhid syar’iyah atau tauhid parktis adalah:
1).
Tauhid
Rububiyah (Aqidah Rububiyah).
Yaitu
meng-Esa-kan Allah dalam hal aturan dan dalam hal ketentuan hukum-hukum-Nya Qs
114:1.
Pengertian
Rububiyah;
Kata
Rububiyah berasal dari kata; Robb yang secara bahasa
merupakan kata kerja dari;Robb-Yarobbu-Robban, yang
berarti; Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan Pemilik segala sesuatu.
Sedangkan
kata bendanya adalah Robbun dengan bentuk
jamaknya Arbaabun yang berarti;Pemilik,
Majikan, Tuan atau Tuhan.
Wujud Rububiyah (Pengaturan) Allah:
(a)
Sunatulloh (Ayat Allah yang Tersirat atau Kauniyah).
Yaitu
pengaturan Allah SWT secara langsung terhadap alam semesta ini, dimana dalam
proses pelaksanaan pengaturannya sama sekali tidak ada campur tangan upaya dan
usaha makhluk, seperti Allah SWT mengatur eksistensi Jagat raya; planet,
matahari, bulan, bintang, bumi atau Allah mengatur proses pencernaan,
pernafasan, kinerja jantung, pendengaran dan penglihatan pada manusia dan
hewan.
(b)
Kitabulloh (Ayat Allah yang Tersurat / Kauliyah).
Yaitu
pengaturan Allah SWT terhadap tatanan sosial hidup masyarakat atau sistem hidup
manusia, dimana proses pelaksanaan pengaturannya sangat diperlukan campur
tangan dan usaha maksimal manusia beriman yang duduk dalam Struktur Lembaga
Mulkiyah Islam (Kerajaan atau Pemerintahan Islam), seperti Rosululloh SAW mendirikan
dan membangun Struktur Lembaga Mulkiyah Islam di Madinah dengan menjadikan
Wahyu Allah (Al-Qur’an) sebagai pedoman tertinggi dalam menata dan mengatur
sistem kehidupan masyarakat di wilayah tersebut
2) Tauhid
Mulkiyah (Aqidah Mulkiyah).
Yaitu
meng-Esa-kan Allah dalam hal institusi kelembagaan-Nya; dalam hal
kedaulatan-Nya, dalam hal kerajaan-Nya, dalam hal pemerintahan-Nya dan dalam
hal kepemimpinan-Nya Qs 114:2.
Wujud Mulkiyah
Allah (Kerajaan atau Pemerintahan Allah) di muka bumi:
a).
Lembaga Risalah.
Yaitu
lembaga kerajaan Islam atau pemerintahan Islam yang dipimpin langsung oleh para
Rosul, dimana proses pemilihan dan pengangkatannya dilakukan secara langsung
oleh Raja Tertinggi yakni oleh Allah SWT, melalui mekanisme Mitsaqon Gholidho.
b).
Lembaga Khilafah.
Yaitu
lembaga kerajaan Islam atau pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang
kholifah, dimana proses pemilihan dan pengangkatannya dilakukan melalui
mekanisme Majelis Syuro di tingkat dunia (Khilafah fil Ardl).
c).
Lembaga Daulah.
Yaitu
lembaga kerajaan Islam atau pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang Imam,
dimana proses pemilihan dan pengangkatannya dilakukan melalui mekanisme Majelis
Syuro di wilayah negara bersangkutan.
3) Tauhid
Uluhiyah (Aqidah Uluhiyah).
Yaitu
meng-Esa-kan Allah dalam hal ibadah; pengabdian dan ketaatan kepada-Nya Qs
114:3.
Pengertian
Uluhiyah.
Kata
Uluhiyah berasal dari kata; Aliha – Ya’lahu – Ilaahan, yang
berarti; yang dicintai (yang dipuja dan diagungkan), yang ditaati, yang
dijadikan tempat pengabdian (tempat ibadah) dan yang dijadikan tujuan hidup.[13]
2.
Ruang
Lingkup Fiqih
Secara
garis besar, fiqh terbagi menjadi dua yaitu, pertama, fiqh ibadah (‘ubudiyah)
meliputi aturan tentang sholat, puasa, zakat, haji, nadzar dan sebagainya yang bertujuan
untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah. Ketentuan hukum ibadah
ini, semua diatur secara global (mujmal) dalam Al-Qur’an, kemudian dijelaskan
oleh sunnah rasul berupa ucapan, perbuatan atau penetapannya dan diformulasikan
oleh para fuqoha’ (ahli hokum) ke dalam kitab-kitab fiqih. Pada prinsipnya
dalam masalah ibadah kaum muslimin menerimanya sebagai ta’abbudy. Artinya
diterima dan dilaksanakan dengan sepenuh hati tanpa terlebih dahulu
merasionalisasikannya. Hal ini karena arti ibadah sendiri adalah menghambakan
diri kepada Allah, Zat yang berhak disembah. Dan manusia tidak memiliki
kemampuan untuk menangkap secara pasti alasan (‘illat) dan hikmah apa yang
terdapat di dalam perintah ibadah tersebut. Ini berbeda dengan fiqih mu’amalah
( ghairu ‘ubudiyah), dengan pertimbangan rasio lebih menonjol.
Kedua,
fiqh muamalah mengatur hubungan antara manusia
dengan sesame, seperti pernikahan, sanksi hokum dan aturan lain, agar
terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan.
Fiqih muamalah ini dipilah sesuai dengan aspek dan tujuan masing-masing. Abdul
Wahab Khalaf merinci sebagai berikut :
1. Hukum
kekeluargaan (Ahwal Al-Syakhsiyah) yaitu hokum yang berkaitan dengan urusan
keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami isteri dan
keluarga satu dengan lainnya. Ayat Al-Qur’an yang membicarakan masalah ini
sekitar 70 ayat.
2. hokum
sipil (civics/al-ahkam al-madaniyah) yang mengatur hubungan individu-individu
serta bentuk-bentuk hubungannya seperti : jual beli, sewa menyewa, utang
piutang, dan lain-lain, agar tercipta hubungan yang harmonis didalam
masyarakat. Ayat Al-Qur’an mengaturnya dalam 70 ayat.
3. Hukum
pidana (Al-Ahkam Al-Jinayah) yaitu hukum yang mengatur tentang bentuk kejahatan
atau pelangggaran dan ketentuan sanksi hukumannya. Tujuannya untuk memelihara
kehidupa manusia, harta, kehormatan, dan hak serta membatasi hubungan pelaku
perbuatan pidana dan masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam 30 ayat.
4. Hukum
acara (Al-Ahkam Al-Murafa’at) yaitu hukum yang mengatur tata cara
mempertahankan hak, dan atau memutuskan siapa yang terbukti bersalah sesuai
dengan ketentuan hokum. Hokum ini mengatur cara beracara di Lembaga Peradilan,
tujuannya untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Ayat Al-Qur’an mengatur
masalah ini dalam 13 ayat.
5. Hukum
ketatanegaraan (Al-Ahkam Al-Dusturiyah) berkenaan dengan system hukum yang
bertujuan mengatur hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan yang dikuasai
atau rakyatnya, hak-hak dan kewajiban individu dan masyarakat, diatur dalam 10 ayat.
6. Hukum
Internasional ( Al-Ahkam Al-Duwaliyah) mengatur hubungan antar negara islam
dengan Negara lainnya dan hubungan warga muslim dan non muslim, baik dalam masa
damai atau dalam masa perang. Al-Qur’an mengaturnya dalam 25 ayat.
7. Hukum
Ekonomi (Al-Ahkam Al-Iqtisadiyah Wa Al-Maliyah) hukum ini mengatur hak-hak
seorang pekerja dan orang yang mempekerjakannya, dan mengatur sumber keuangan
Negara dan pendistribusiannya bagi kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Diatur
dalam Al-Qur’an sebanyak 10 ayat.
Hukum
islam (fiqih) dan perjalanan sejarahnya memiliki kedudukan yang amat penting.
Namun sebagian besar, menurut Abdurrahman Wahid kini sebagian besar merupakan
proyeksi teoritis dan pengkajiannya lebih bersifat ‘pertahanan’ daripada
kemusnahan. Bekas-bekasnya dan pengaruhnya yang masih tampak, lambat laun
terjadi proses yang menuntut adanya penilaian ulang agar hukum islam tidak
kehilangan peran vitalnya dan relevansinya dengan kehidupan masyarakat yang
terus menerus berkembang. Munculnya imam-imam madzhab, menurut Abdurrahman
Wahid, tidaklah dengan sendirinya dapat memenuhi kebutuhan hokum masyarakat
islam. Bahkan karena tingkat toleransi diantara madzhab itu sedemikian besar,
hamper tidak dapat ditemukan kodifikasi hokum islam yang seragam untuk semua Negara,
atau untuk wilayah yang berbeda-beda dari sebuah Negara islam. Sampai saat ini
baru Al-Majallah Al-Ahkam Al-‘Adaliyah yang dianggap sebagai kodifikasi hokum
islam yang dinilai kalangan umat islam sebagai kodifikasi universal.
Karena
fiqih sebagai ilmu mrupaakan produk pemikiran dan ijtihad para mujtahid, yang
digali dan dirumuskan dari pokok-pokok atau dasar-dasar (ushul syari’ah), maka
ia bukan pokok atau dasar. Sebab spesialisasi fiqih adalah dibidang furu’
(cabang-cabang) dari ajaran dasar atau pokok, yaitu Al-Qur’an dan Hadits yang
notabenya masih bersifat zonni. Dengan demikian, fiqih bisa digolongkan menjadi
dua unsur, yaitu unsure ajaran pokok dan unsure furu’. Karena itu, ia dapat
menerima perubahan sejalan dengan perkembangan dan kepentingan-keoentingan (
mashalih) masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan sesuai dengan perubahan
zaman dan tempat. Sedangkan syari’ah, adalah merupakan dasar atau pokok yang tidak
boleh dirubah atau diganti selama-lamanya.[14]
3.
Ruang
Lingkup Tasawuf
Tasawuf
bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan
yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang
berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan
dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia
perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk
“Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan. Demikian ini menjadi inti persoalan “Sofisme”
baik pada agama islam maupun di luarnya.
Dengan
pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa “tasawuf/mistisisme islam” adalah suatu
ilmu yang mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada di
hadirat Allah SWT (Tuhan). Maka gerakan “kejiwaan” penuh dirasakan guna
memikirkan betul suatu hakikat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari
Tuhannya.
Tasawuf
atau mistisisme dalam islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari
bentuk hidup “kezuhudan” (menjauhi kemewahan duniawi). Tujuan tasawuf
untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada perasaan
benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang
diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum
memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
Dengan
demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah
hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya atau cara-cara untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara
langsung dari Tuhan.
Kawasan
pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia baik sebagai
individu perorangan atau kelompok. [15]
C. Hubungan Tauhid, Fiqih, dan
Tasawuf
1. Hubungan Tauhid
(Akidah) dengan Fiqih (Syari’ah)
Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan
akidah dan syari’ah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut islam adalah
pokok yang kemudian di atasnya dibangun syari’at. Sedang syari’at itu sendiri
adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah
akan terdapat syari’at di dalam islam, melainkan karena adalnya akidah;
sebagaimaa syari’at tidak berkembang, melainkan di bawah naungan akidah.
Jelaslah bahwa syari’at tanpa akidah laksana gedung tanpa fondasi.
Jika syari’at disebut sendiri, maka yang
dimaksudka adalah makna umum, yaitu agama islam secara keseluruhan. Sebaliknya,
jika syari’at disebut bersama aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna
khusus, yaitu hokum-hukum perintah-perintah,
dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan aqidah (keyakinan).
Kalau
seorang telah mengakui percaya kepada Allah dan kepada hari kemudian, dan telah
mengakui percaya kepada Rasul-rasul utusan Tuhan, niscaya dia bersiap-siap
sebab dia telah percaya bahwa kelak dia akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia
senantiasa berusaha di dalam hidup menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan
orang yang mengakui diri gagah berani, dia ingin membuktikan keberaniannya ke
medan perang. Seseorang yang mengakui dirinya dermawan, berusaha mencari lobang
untuk menafkahkan harta bendanya kepada orang yang patut dibantu. Seorang yang
mengakui dirinya orang jujur, senantiasa
menjaga supaya perkataannya jangan bercampur bohong.
Dengan
demikian, maka aqidah dan syari’at merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui
bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang disebut
dengan aqidahh, dan amalan ini yang disebut syari’at. Sehingga iman itu
mencakup aqidah daan syari’at, Karena memang iman itu, jika disebutkan
secara mutlak (sendiri) maka ia mencakup
keyakinan dan amalan.
2. Hubungan Fiqih(Syari’ah) dan Tasawuf
Tasawuf
sering dikaitkan dengan fahaman “hakikat itu isi dan syari’at itu kulit”.
Lantaran itu segolongan orang yang merasakan diri mereka ahli tasawuf mengambil
sikap memandang remeh kepada syari’at dan meringan-ringankan cuai dan
mengabaikannya. Begitu juga tasawuf sering dikaitkan dengan fahaman “gugur
taklif”dimana menurut fahaman ini seseorang itu apabila sampai ke satu
tingkatan yang tinggi dalam hubungan dengan Tuhan akan gugur kewajiban melaksanakan
syari’at. Lantaran itu mereka tidak lagi
melaksanakan sholat dan kewajiban-kewajiban agama yang lain kerana merasa cukup
dengan niat dan gerak hati semata-mata. Mereka beranggapan bahwa orang-orang
yang melaksanakan kewajiban agama
tersebut adalah terhijab dan bersifat kulit semata-mata.
Fahaman
ini bukanlah fahaman tasawuf yang sebenarnya. Ia adalah fahaman golongan
Batiniyyah yang diserapkan ke dalam
pemikiran tasawuf. Tokoh-tokoh tasawuf telah menjelaskan kebatilan fahaman ini
dalam karya-karya mereka dan meletakkan garis panduan mengenainya. Mereka
menetapkan antara prinsip utama tasawuf ialah keterkaitan dengan hukum-hukum
syari’at.
Dalam
peristilahan ilmu tasawuf, syari’at itu merujuk kepada pengertian suruhan atau
perintah melaksanakan ubudiyyah dan perlaksanaan manusia terhadap perintah
tersebut. Mengenai perkara ini al-Qushayri bahwa syari’at itu ialah perintah
supaya melaksanakan ubudiyyah (perhambaan diri kepada Allah)…, syari’at itu
datang dengan mentaklifkan makhluk (manusia)…, syari’at itu ialah beribadat
kepada Allah…, syari’at itu ialah pelaksanaan terhadap apa yang diperintahkan.
Syari’at juga adakalanya diguna pakai dikalangan ahli tasawuf dengan maksud
Al-Qur’an dan juga al-Sunnah. Oleh itu keterkaitan dengan syari’at bermaksud penjagaan
terhadap suruhan dan larangan Allah dan tidak menyalahi Al-Qur’an dan juga
sunnah.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaitan
antara aqidah, syari’at dan tasawuf ialah bagaikan sebuah pohon, terdapat akar,
batang dan daun, yang saling menyatu. Bila satu hilang atau rusak, maka akan
terjafi kehancuran untuk pohon tersebut.
Akidah merupakan pilar
utama untuk menumbuhkan syari’at dan akhlak. Tanpa aqidah, syari’at dan tasawuf
yang baik akan menjadi percuma, ataupun sebaliknya. Rasulullah pernah menjelaskan
tentang pengertian ketiganya ketika jibril datang kepadanya sebagai seorang
manusia.
Rasulullah
sangat menekankan hubungan antara ketiganya. Tidak boleh dilepas satu sama
lain. Rasulullah menegaskan barang siapa meninggalkan syari’at dan akhlak akan kehilangan
keimanannya, ataupun sebaliknya. Dan Rasulullah menegaskan untuk memelihara
ketiganya dalam tubuh eorang mukmin dan muslim.
B. Saran
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih
banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan
penyusunannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan
masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Muhammad, 2016. AKHLAQ
Menjadi Seorang Muslim Berakhlaq Mulia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
al-Ghazali Muhammad,1993. Akhlaq Seorang Muslim. Semarang: Wicaksana
http:/latifarun.blogspot.co.id/2014/09/aqidah-islam.html
Mufid Fathul, 2009. ILMU TAUHID/KALAM. Kudus : STAIN
PRESS
Shobirin, 2009. Fiqih
Madzhab Penguasa. Kudus : CV. Brillian Media Utama
Syaltut Mahmud, 1996. Islam Aqidah wa Syariah, I. Kairo : Dar
al –Kalam.
[1] Drs.H.Fathul Mufid, ILMU TAUHID/KALAM. Kudus : STAIN PRESS, 2009. hal 3-5
[2] Abu
Al-Fadl al-Din Muhammad bin Mukhram bin Mansur, Lisan al-‘Arab, Vol. XIII, Dar Sodr, Beirut, 1968, hlm. 522; Lois
Ma’luf, al-Munzid fi al-lighat wa
al-a’lam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1986, hlm. 591; F. Steingass, Arabic Engglish Dictionary, Cosmos
Publikations, New Delhi, India, 1978, hlm. 800; dan Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,
ed. by. J. Milton Gowan, Otto Harrassowitz, Wiersbaden, 1979, hlm. 847
[3] Al-Syarif Ali bin Muhammad Al-Jarjani, Kitab al-Ta’rif al-Haromain, Singapura,
t.th. hlm. 168; dan Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushulal-Fikr, Dar Al-Fikr al-‘Arabi, Mesir,1958, hlm. 6.
[4] Al-Qur’an, Surat al-Jatsiyah, ayat 18,
Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1984, hlm.
817
[5] Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, terj., Pustaka,
Bandung, 1984, hlm. 3
[6] Abu Zahrah, loc.cit; al-jarjani, loc.cit; T.M.Hasbi As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang,
Jakarta, 1974, hlm. 26.
[7] Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia , Gama Media Offset.,
Yogyakarta, 2001, hlm. 19-21.
[8] Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padang,
1993, hlm. 16-17.
[9] Syu’an Muhammad Ismail, al-Tasyri’ al-Islami, Maktabah
al-Nadhah, Kairo, 1985, hlm. 12.
[10] Ibid.,
hlm. 14
[11] Ibid.,
hlm. 16
[12] Dr. Muhammad Abdurrahman, AKHLAQ Menjadi Seorang Muslim Berakhlaq
Mulia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada . 2016. hlm 263-267.
[13] http:/latifarun.blogspot.co.id/2014/09/aqidah-islam.html
[14] Shobirin, Fiqih Madzhab Penguasa. Kudus : CV. Brillian Media Utama.2009. hal
45-49
[15] Muhammad al-Ghazali, Akhlaq Seorang Muslim, (terj). dari Moh.Rifa’I dari judul Khuluk al-Muslim, Semarang:
Wicaksana: 1993. Cet.IV. hlm.68.
[16] Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syariah, I, Kairo: Dar al –Kalam. 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar