Selasa, 19 September 2017

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN HUBUNGAN ANTARA TAUHID, FIQIH DAN TASAWUF

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN HUBUNGAN ANTARA TAUHID, FIQIH DAN TASAWUF


BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam agama islam terdapat tiga ajaran yang sangat ditekankan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang harus diamalkan dan dibenarkan dalam hati. Yaitu Tauhid (Aqidah), fiqih (syari’ah), Tasawuf (akhlaq). Tetapi sekarang-sekarang ini ada yang mengabaikan salah satu dari tiga hal ini. Sehingga kehidupannya menjauh dari agama.
Dasar ajaran islam yang terdiri dari aqidah, syari’ah, dan tasawuf sering sekali di lupakan keterkaitannya. Contohnya : seseorang melakukan sholat, berarti dia melakukan syari’ah. Tetapi sholat itu dilakukannya untuk membuat kagum orang-orang disekitarnya, berarti dia tidak melaksanakan aqidah. Karena sholat itu dilakukannya bukan karena Allah SWT, maka sholat itu tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri ataupun orang lain. Alhasil, dia tidak mendapatkan manfaat pada akhlaqnya. Itulah yang menjadikan suatu perbuatan yang seharusnya mendapat ganjaran pahala, tapi malah menjadi suatu kesia-siaan karena tidak dilakukan semata-mata karena Allah.
Penyusunan makalah ini, penulis berharap dapat menegaskan kembali mengenai kerangka dasar ajaran islam yang terdiri dari : aqidah, syari’ah, dan tasawuf.

B.     Rumusan  masalah
1.      Apa pengertian tauhid, fiqih, dan tasawuf?
2.      Bagaimana rusng lingkup tauhid, fiqih, dan tasawuf?
3.      Bagaimana hubungan tauhid, fiqih, dan tasawuf?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf

1. Pengertian Tauhid

Ilmu Tauhid secara harfiah, berarti ilmu tentang keesaan Allah swt. Sebagaimana diketahui bahwa, masalah keesaan Tuhan adalah bagian dari masalah-masalah aqidah yang paling utama, karena “mengesakan Allah” itu tujuan hakiki dari aqidah islam, maka ilmu tentang aqidah islam dinamakan dengan Tauhid.
Sebutan ilmu kalam maksudnya adalah kalamullah sebagai objek bahasan. Itulah sebabnya, mengapa para ulama’ berbeda pendapat tentang alasan penamaan ilmu kalam.
Definisi ilmu kalam selanjutnya dapat dilihat pada beberapa definisi yang dirumuskan para ulama’ berikut ini:
1.      Hassan Hanafi menyatakaan bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu pengetahuan yang menggunakan firman Allah, yakni Al-Qur’an sebagai objek atau karena diskursus utama dalam ilmu ini adalah problematika sekitar apakah Al-Qur’an( kalamullah) itu qodim atau Hadits(Hassan Hanafi, 2003:1).
2.      Menurut Muhammad Abduh “Ilmu Tauhid adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas tentang sifat-sifat yang wajib, yang jaiz ada dan yang harus tidak ada(mustahil) bagi-Nya. Dan (dibahas pula) tentang para Rosul untuk meyakini keutusan mereka, tentang sifat-sifat yang wajib, yang jaiz dipunyai dan yang tidak boleh(mustahil) (M.Abduh, tt:7).
3.      Ibnu Kaldun dalam muqoddimahnya, menjelaskan bahwa: Ilmu Kalam adalah ilmu yang berisi argument-argumen rasional untuk membela aqidah-aqidah imaniah dan berisi pula bantahan terhadap golongan bid’ah yang dalam bidang aqidah menyimpang dari madzhab salaf dan madzhab ahlussunnah (Ibn Kaldun, tt:326).
4.      Husein Afandi Al-Jisr dalam Al-Hushun Al-Hamidiyah menyebutkan bahwa: ilmu tauhid adalah ilmu yang melakukan bahasan tentang penetapan aqidah-aqidah agama dengan dalil-dalil yang meyakinkan (nyata)(husein Afandi, tt :7).
5.      Menurut Ahmad Fuad al Ahwani dalam al falsafah al islamiyah ditegaskan bahwa : ilmu kalam adalah memperekuat aqidah-aqidah agama islam dengan argument-argumen nasional, atau dengan kata lain, merupakan rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik untuk memperkokoh kebenaran aqidah agama islam (al Ahwani, 1962 :18).[1]

2.  Pengertian Fiqh
Secara bahasa, fiqh berarti tahu, paham dan mengerti, hal ini dipakai secara khusus dalam bidang hokum agama ( Yurisprodensi Islam)[2]. Berarti fiqh secara bahasa adalah keterangan tentang pengertian atau paham dari maksud ucapan si pembicar, atau pemhaman yang mendalam terhadap maksud – maksud perbuatan dan perkataan.[3]
Kata fiqh pada mulanya digunakan oleh masyarakat arab untuk menyebut orang yang ahli dalam mengawinkan onta, yang mampu membedakan onta betina yang sedang birahi dan onta betina yang sedang bunting. Itulah sebabnya, bangsa arab sangat akrab dengan ungkapan fahmun faqihun sebagai julukan bagi pakar onta.[4] Untuk dapat meengawinkan onta dan membedakanya antara yang birahi dengan yang bunting dibutuhkan pengetahuan yang mendalam guna menghindari kemungkinan terjadinya kekeliruan.
Dari uraian ini dapat dikembangkan tenta ng pengertian fiqh secara umum, yaitu “ pengetahuan dan pemahaman tentang sesuatu “. Namun begitu, dalam sejarah perkembangan islam tamoaknya kata fiqh lebih banyak dipergunakan dalam pengertian untuk memahami agama daripada yang lain. Al Quran sendiri kelihatanya mempergunakan kata fiqh dalam kontek pemahaman terhadap masalah – masalah agama. Misalnya dalam firman Allah, “ liyatafa’qqahu fi al – din “ ( Q.S 9 : 122 ) dan sabda nabi “ Allahumma faqqihu fi al – din “ menunjukkan, bahwa istilah fiqh tidak dimaksudkan untuk pengertian memahami agama dari aspek hukum semata melainkan untuk memahami agama ( secar mendalam ) dengan berbagai aspeknya. Kedua ungkapan itu menggambarkan betapa luas ruang lingkup istilah fiqh pada masa awal islam. Hingga abad ke 2 H, istilah fiqh masih mencangkup masalah teologis, disamping masalah hukum.
Sebuah buku berjudul al - fiqh al – akbar yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah ( w. 150 H/ 167 M) hampir sepenuhnya berkisar pada masalah dokmatik dan teologi. Buku ini ditulis  jawaban terhadap kepercayaan sikte qodaiyah tentang prinsip – prinsip dasar islam seperti aqidah, ke -Esa - an Allah, kehidupan akhirat atau kenabian yang semua wilayah teologi. Untuk memberikan gambaran komperehensip tentang masalah ini, dapat disebutkan,  bahwa Abu Hanifah mendefinisikan fiqh sebagai ma’rifat  al- nafs malaha wama’alaiha ( pengetahuan seseorang tentang hukum-hukum dan kewajiban-kewajibanya).[5]
Dalam pengertian terminologis,fiqh adalah hokum-hukum syara’yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh dalil-dalilyang rinci. Contohnya hokum wajib sholat, diambil dari perintah Allah dalam ayat aqimu al-shalat (dirikanlah shalat). Karena dalam Al Qur’an tidak dirinci bagaimana tata cara menjalankan shalat,sebagaimana kalian melalui sabda Nabi Muhammad : “kerjakanlah shalat, sebagaimana kalian melihat aku menjalankannya” (shallu kama raaitumuni ushalli). Dari praktek Nabi Muhammad inilah, para sahabat, tabi’in, dan fuqaha’ merumuskan tata aturan shalat yang benar dengan segala syarat dan rukunnya.
Secara terminologis (istilah) menurut ulama-ulama syara’ (hokum Islam), fiqh adalah pengetahuan tenttang hokum-hukum yang sesuai dengan syara’ mengenai amal perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafsili (terinci), yakni dalil-dalin atau hokum-hukum khusus yang diambil dari dasar-dasarnya (al Quran dan sunnah).[6] Jadi fiqh menurut istilah adalah pengetahuan mengenai hokum agma islam yang bersumber dari al quran dan sunnah yang disusun oleh mujtahid dengan penalaran ijtihad. Dengan kata lain fiqh adalah ilmu pengetahuan mengenai hokum agama islam.
Pengertian fiqh lebih rincinya, sebagaimana ungkapan Ahmad Rofiq, [7] mengutip dari pembaharuan pemikiran dalam hokum islam tulisan Amir Syarifuddin, sebagai berikut :
1.      Bahwa fiqh itu adalah ilmu tentang hokum syara’
2.      Bahwa yang dibiccrakan fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliah furu’iyah
3.      Bahwa pengetahuan tentang hokum syara’ itu didasarkan kepada dalil tafshili (rinci),
4.      Bahwa fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal (penggunaan dalil) si mujtahid atau faqih.[8]

Dalam perkembangan terakhir fiqh dipahami oleh kalangan ahli ushul fiqh, sebagai hukum praktis hasil ijtihad,[9] karenanya fiqh identik dengan ijtihad sedangkan faqih identik dengan mujtahid. Kalangan fuqoha (ulama’ fiqh) pada umumnya mengartikan fiqh sebagai kumpulan hukum  islam yang mencakup semua aspek hukum syar’I,[10] baik yang tertuang secara tekstual maupun hasil penalaran atau teks. Pada sisi lain dikalangan ahli ushul fiqh, konsep syari’ah dipahami dengan pengertian “teks syar’i” yakni sebagai “al-nash al-muqoddatsah” yang tertuang dalam Al-qur’an dan Hadits yang tetap, tidak mengalami perubahan.[11]

3. Pengertian Tashawwuf  
Pada hakikatnya Tashawwuf adalah mematikan nafsu egoisme secara berangsur-angsur hingga menjadi pribadi yang sempurna seperti bayi yang baru lahir. Menjalankan kehidupan shufi berarti membuang jauh-jauh perbuatan jeleknya seperti ular melepaskan kulitnya. Tashawwuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari tuhan. Hubungan tersebut sangat sacral karena manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Dengan kesadaran terjadinya kontak berkomunikasi atau dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Ini harus dilakukan dengan cara mengasingkan diri.
Ajaran tashawwuf adalah ajaran kebersihan batin (hati), yang hanya bertujuan semata-mata untuk bisa memasuki hadhratul qudsiyah ( hadrat kesucian) dengan makrifat (pengenalan kepada Allah) sesempurna mungkin, agar bisa musyahadah (penyaksian), mukasyafah (terbuka tirai) dengan siraman Mahabbah daripada-Nya.
Dalam kitab Ar-Risalah, Imam Al Qusyairi Rahimahullah telah menulis tentang pendapat-pendapat yang berhubungan dengan asal kata tashawwuf:
1.      Ada yang menyatakan perkataan tashawwuf berasal dari kata shuf (bulu domba/wol). Jika seseorang memakai baju atau pakaian bulu domba atau wol maka dia sudah dianggap orang ber tashawwuf, sebagaimana perkataan taqammash yang berasal dari kata qamish bermakana memakai baju gamis. Ini merupakan salah satu pandangan namun para kaum sufi tidak memaksakan diri mereka dengan salah satu ciri khas tertentu.
2.      Adapula yang berpendapat bahwa kaum shufi erat kaitannya dengan serambi (ahs-Suffah) masjid Nabi SAW. Di Madinah. Orang-orang yang menetap di serambi masjid itu dinamakan ahlu-shuffah, pada dasrnya penisbatan sifat ini juga tidak sesuai dengan para sufi.
3.      Ada juga kelompok yang mengatakan bahwa tashawwuf itu berasal dari perkataan ash-shafa’, yang artinya adalah kejernihan (ketulusan). Namun, kata-kata ini sangatlah jauh jika ditinjau dari pecahan kata dasar menurut bahasa arab.
4.      Ada yang mengatakan bahwa tashawwuf itu berasal dari kata shaff, yang bermakna barisan. Seakan-akan orang-orang sufi ini selalu berada dalam shaf-shaf shalat. Atau juga disebutkan bahwa hati para kaum sufi selalu ada dalam barisan yang terdapat dalam muhadharah dihadapan Allah swt. Dalam segi arti memang benar, tetapi kata sufi tidak dapat menjadi bentuk fa’il dari kata shaff.
Syaikh Muhammad Amin Al Kurdy mengatakan bahwa tashawwuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan tercela serta mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, malangkah menuju (keridoan) Allah dan meninggalkan (larangan-Nya) menuju kepada (perintah-Nya).
Al Ghazali mengatkan bahwa tashawwuf berarti budi pekerti ; barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, bermakna ia memberikan bekal atas dirimu dalam tashawwuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) islam. Dan ahli Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa Akhlaq( terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya.
Junaid Al Baghdadi mengatakan bahwa tashawwuf adalah Allah mematikan kelalaianmu dan menghidupkan dirimu dengannya. Sedangkan Abu Bakar Muhammad Al-Kattani berkata bahwa tashawwuf adalah kejernihan dan kesaksian. Ja’far al-Khalidi mengatakan bahwa tashawwuf adalah memusatkan segenap jiwa raga dalam bieribadah dan keluar dari kemanusiaanserta memandang pada al Haq secara menyeluruh. Sedangkan Abu Sa’id al- Kharraz mengatakan bahwa tashawwuf adalah orang-orang yang dijernihkan hati sanubarinya oleh Allah dan telah dipenuhi dengan cahaya.mereka tenang bersama Allah.
Perbedaan pendapat tentang definisi tentang tashawwuf baik dari segi makna atau dari segi eksistensinya tidak perlu dipersoalkan karena yang penting bagaimana kita sikapi dengan hati yang jernih dan pikiran yang lapang. Perkara yang paling penting dalam mempelajari ilmu tashawwuf adalah bagaiman kita berakhlaq mulia terutama dalam bermunjah kepada Allah swt dan juga bagaimana kita mendekatkan diri kepada Allah dalam setiap saat. Kehadiran Allah dalam manusia itu penting untuk membebaskan diri dari ketergantungan kepada makhluk lain, memebebaskan diri dari kecintaan kepada selain-Nya, membebaskan diri dari ketakutan kepada selain Dia Yang Maha Perkasa dan sebagainya.[12]

B.     Ruang Lingkup  Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf
1.      Ruang lingkup Tauhid
a.      Tauhid Hakikiyah (Teoritis).
Yaitu ajaran tentang meng-Esa-kan Allah yang masih bersifat melangit, dimana tauhid hakikiyah atau tauhid teoritis ini ruang lingkupnya hanya sebatas dalam tataran akal dan keyakinan yang bersifat melangit, belum dalam bentuk tataran syari’at, aturan atau perundang-undangan nyata yang diterapkan dalam tatanan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Yang termasuk ke dalam kelompok ajaran tauhid hakikiyah atau tauhid teoritis adalah:
1.      Tauhid fii Dzat Allah (Meng-Esa-kan Allah dalam hal Dzat-Nya).
2.     Tauhid fii Sifat Allah (Meng-Esa-kan Allah dalam hal Sifat-Sifat-Nya).
3.      Tauhid fii Asma’Allah (Meng-Esa-kan Allah dalam hal Nama-Nama-Nya).
4.      Tauhid fiil Af’al Allah (Meng-Esa-kan Allah dalam hal Pekerjaan-Nya).
b.     Tauhid syar’iyah (Praktis).
Yaitu ajaran tentang meng-Esa-kan Allah yang bersifat konkrit dalam bentuk syari’at atau aturan nyata yang diterapkan dalam seluruh aspek tatanan kehidupan bermasyarakat, dimana ruang lingkup tauhid ini tidak hanya sebatas tataran akal, keyakinan dan lisan saja, akan tetapi mencakup aktualisasi dalam bentuk sikap dan perbuatan nyata yang diterapkan dalam seluruh aspek tatanan kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara dengan menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya sumber Rububiyah (aturan atau legalitas), sumber Mulkiyah (kewenangan atau otoritas) dan sumbur Uluhiyah (keta’atan atau loyalitas).
Yang termasuk ke dalam kelompok ajaran tauhid syar’iyah atau tauhid parktis adalah:
1).  Tauhid Rububiyah (Aqidah Rububiyah).
Yaitu meng-Esa-kan Allah dalam hal aturan dan dalam hal ketentuan hukum-hukum-Nya Qs 114:1.
Pengertian Rububiyah;
Kata Rububiyah berasal dari kata; Robb yang secara bahasa merupakan kata kerja dari;Robb-Yarobbu-Robban, yang berarti; Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan Pemilik segala sesuatu.
Sedangkan kata bendanya adalah Robbun dengan bentuk jamaknya Arbaabun yang berarti;Pemilik, Majikan, Tuan atau Tuhan.
Wujud Rububiyah (Pengaturan) Allah:
(a)   Sunatulloh (Ayat Allah yang Tersirat atau Kauniyah).
Yaitu pengaturan Allah SWT secara langsung terhadap alam semesta ini, dimana dalam proses pelaksanaan pengaturannya sama sekali tidak ada campur tangan upaya dan usaha makhluk, seperti Allah SWT mengatur eksistensi Jagat raya; planet, matahari, bulan, bintang, bumi atau Allah mengatur proses pencernaan, pernafasan, kinerja jantung, pendengaran dan penglihatan pada manusia dan hewan.
(b)   Kitabulloh (Ayat Allah yang Tersurat / Kauliyah).
Yaitu pengaturan Allah SWT terhadap tatanan sosial hidup masyarakat atau sistem hidup manusia, dimana proses pelaksanaan pengaturannya sangat diperlukan campur tangan dan usaha maksimal manusia beriman yang duduk dalam Struktur Lembaga Mulkiyah Islam (Kerajaan atau Pemerintahan Islam), seperti Rosululloh SAW mendirikan dan membangun Struktur Lembaga Mulkiyah Islam di Madinah dengan menjadikan Wahyu Allah (Al-Qur’an) sebagai pedoman tertinggi dalam menata dan mengatur sistem kehidupan masyarakat di wilayah tersebut 
2) Tauhid Mulkiyah (Aqidah Mulkiyah).
Yaitu meng-Esa-kan Allah dalam hal institusi kelembagaan-Nya; dalam hal kedaulatan-Nya, dalam hal kerajaan-Nya, dalam hal pemerintahan-Nya dan dalam hal kepemimpinan-Nya Qs 114:2.
Wujud Mulkiyah Allah (Kerajaan atau Pemerintahan Allah) di muka bumi:
a).   Lembaga Risalah.
Yaitu lembaga kerajaan Islam atau pemerintahan Islam yang dipimpin langsung oleh para Rosul, dimana proses pemilihan dan pengangkatannya dilakukan secara langsung oleh Raja Tertinggi yakni oleh Allah SWT, melalui mekanisme Mitsaqon Gholidho.
b).   Lembaga Khilafah.
Yaitu lembaga kerajaan Islam atau pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang kholifah, dimana proses pemilihan dan pengangkatannya dilakukan melalui mekanisme Majelis Syuro di tingkat dunia (Khilafah fil Ardl).
c).    Lembaga Daulah.
Yaitu lembaga kerajaan Islam atau pemerintahan Islam yang dipimpin oleh seorang Imam, dimana proses pemilihan dan pengangkatannya dilakukan melalui mekanisme Majelis Syuro di wilayah negara bersangkutan.
3) Tauhid Uluhiyah (Aqidah Uluhiyah).
Yaitu meng-Esa-kan Allah dalam hal ibadah; pengabdian dan ketaatan kepada-Nya Qs 114:3.
Pengertian Uluhiyah.
Kata Uluhiyah berasal dari kata; Aliha – Ya’lahu – Ilaahan, yang berarti; yang dicintai (yang dipuja dan diagungkan), yang ditaati, yang dijadikan tempat pengabdian (tempat ibadah) dan yang dijadikan tujuan hidup.[13]
2.      Ruang Lingkup Fiqih
Secara garis besar, fiqh terbagi menjadi dua yaitu, pertama, fiqh ibadah (‘ubudiyah) meliputi aturan tentang sholat, puasa, zakat, haji, nadzar dan sebagainya yang bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Allah. Ketentuan hukum ibadah ini, semua diatur secara global (mujmal) dalam Al-Qur’an, kemudian dijelaskan oleh sunnah rasul berupa ucapan, perbuatan atau penetapannya dan diformulasikan oleh para fuqoha’ (ahli hokum) ke dalam kitab-kitab fiqih. Pada prinsipnya dalam masalah ibadah kaum muslimin menerimanya sebagai ta’abbudy. Artinya diterima dan dilaksanakan dengan sepenuh hati tanpa terlebih dahulu merasionalisasikannya. Hal ini karena arti ibadah sendiri adalah menghambakan diri kepada Allah, Zat yang berhak disembah. Dan manusia tidak memiliki kemampuan untuk menangkap secara pasti alasan (‘illat) dan hikmah apa yang terdapat di dalam perintah ibadah tersebut. Ini berbeda dengan fiqih mu’amalah ( ghairu ‘ubudiyah), dengan pertimbangan rasio lebih menonjol.
Kedua, fiqh muamalah mengatur hubungan antara manusia  dengan sesame, seperti pernikahan, sanksi hokum dan aturan lain, agar terwujud ketertiban dan keadilan, baik secara perorangan maupun kemasyarakatan. Fiqih muamalah ini dipilah sesuai dengan aspek dan tujuan masing-masing. Abdul Wahab Khalaf merinci sebagai berikut :
1.      Hukum kekeluargaan (Ahwal Al-Syakhsiyah) yaitu hokum yang berkaitan dengan urusan keluarga dan pembentukannya yang bertujuan mengatur hubungan suami isteri dan keluarga satu dengan lainnya. Ayat Al-Qur’an yang membicarakan masalah ini sekitar 70 ayat.
2.      hokum sipil (civics/al-ahkam al-madaniyah) yang mengatur hubungan individu-individu serta bentuk-bentuk hubungannya seperti : jual beli, sewa menyewa, utang piutang, dan lain-lain, agar tercipta hubungan yang harmonis didalam masyarakat. Ayat Al-Qur’an mengaturnya dalam 70 ayat.
3.      Hukum pidana (Al-Ahkam Al-Jinayah) yaitu hukum yang mengatur tentang bentuk kejahatan atau pelangggaran dan ketentuan sanksi hukumannya. Tujuannya untuk memelihara kehidupa manusia, harta, kehormatan, dan hak serta membatasi hubungan pelaku perbuatan pidana dan masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam 30 ayat.
4.      Hukum acara (Al-Ahkam Al-Murafa’at) yaitu hukum yang mengatur tata cara mempertahankan hak, dan atau memutuskan siapa yang terbukti bersalah sesuai dengan ketentuan hokum. Hokum ini mengatur cara beracara di Lembaga Peradilan, tujuannya untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Ayat Al-Qur’an mengatur masalah ini dalam 13 ayat.
5.      Hukum ketatanegaraan (Al-Ahkam Al-Dusturiyah) berkenaan dengan system hukum yang bertujuan mengatur hubungan antara penguasa (pemerintah) dengan yang dikuasai atau rakyatnya, hak-hak dan kewajiban individu dan masyarakat,  diatur dalam 10 ayat.
6.      Hukum Internasional ( Al-Ahkam Al-Duwaliyah) mengatur hubungan antar negara islam dengan Negara lainnya dan hubungan warga muslim dan non muslim, baik dalam masa damai atau dalam masa perang. Al-Qur’an mengaturnya dalam 25 ayat.
7.      Hukum Ekonomi (Al-Ahkam Al-Iqtisadiyah Wa Al-Maliyah) hukum ini mengatur hak-hak seorang pekerja dan orang yang mempekerjakannya, dan mengatur sumber keuangan Negara dan pendistribusiannya bagi kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Diatur dalam Al-Qur’an sebanyak 10 ayat.

Hukum islam (fiqih) dan perjalanan sejarahnya memiliki kedudukan yang amat penting. Namun sebagian besar, menurut Abdurrahman Wahid kini sebagian besar merupakan proyeksi teoritis dan pengkajiannya lebih bersifat ‘pertahanan’ daripada kemusnahan. Bekas-bekasnya dan pengaruhnya yang masih tampak, lambat laun terjadi proses yang menuntut adanya penilaian ulang agar hukum islam tidak kehilangan peran vitalnya dan relevansinya dengan kehidupan masyarakat yang terus menerus berkembang. Munculnya imam-imam madzhab, menurut Abdurrahman Wahid, tidaklah dengan sendirinya dapat memenuhi kebutuhan hokum masyarakat islam. Bahkan karena tingkat toleransi diantara madzhab itu sedemikian besar, hamper tidak dapat ditemukan kodifikasi hokum islam yang seragam untuk semua Negara, atau untuk wilayah yang berbeda-beda dari sebuah Negara islam. Sampai saat ini baru Al-Majallah Al-Ahkam Al-‘Adaliyah yang dianggap sebagai kodifikasi hokum islam yang dinilai kalangan umat islam sebagai kodifikasi universal.
Karena fiqih sebagai ilmu mrupaakan produk pemikiran dan ijtihad para mujtahid, yang digali dan dirumuskan dari pokok-pokok atau dasar-dasar (ushul syari’ah), maka ia bukan pokok atau dasar. Sebab spesialisasi fiqih adalah dibidang furu’ (cabang-cabang) dari ajaran dasar atau pokok, yaitu Al-Qur’an dan Hadits yang notabenya masih bersifat zonni. Dengan demikian, fiqih bisa digolongkan menjadi dua unsur, yaitu unsure ajaran pokok dan unsure furu’. Karena itu, ia dapat menerima perubahan sejalan dengan perkembangan dan kepentingan-keoentingan ( mashalih) masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan sesuai dengan perubahan zaman dan tempat. Sedangkan syari’ah, adalah merupakan dasar atau pokok yang tidak boleh dirubah atau diganti selama-lamanya.[14]

3.      Ruang Lingkup Tasawuf
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan. Demikian ini menjadi inti persoalan “Sofisme” baik pada agama islam maupun di luarnya.
Dengan pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa “tasawuf/mistisisme islam” adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah SWT (Tuhan). Maka gerakan “kejiwaan” penuh dirasakan guna memikirkan betul suatu hakikat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari Tuhannya.
Tasawuf atau mistisisme dalam islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan” (menjauhi kemewahan duniawi). Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
Dengan demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya atau cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan.
Kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek kehidupan manusia baik sebagai individu perorangan atau kelompok. [15]

C. Hubungan Tauhid, Fiqih, dan Tasawuf
1. Hubungan Tauhid (Akidah)  dengan Fiqih (Syari’ah)
   Menurut Syekh Mahmud Syaltut ketika menjelaskan tentang kedudukan akidah dan syari’ah menulis: Akidah itu di dalam posisinya menurut islam adalah pokok yang kemudian di atasnya dibangun syari’at. Sedang syari’at itu sendiri adalah hasil yang dilahirkan oleh akidah tersebut. Dengan demikian tidaklah akan terdapat syari’at di dalam islam, melainkan karena adalnya akidah; sebagaimaa syari’at tidak berkembang, melainkan di bawah naungan akidah. Jelaslah bahwa syari’at tanpa akidah laksana gedung tanpa fondasi.
     Jika  syari’at disebut sendiri, maka yang dimaksudka adalah makna umum, yaitu agama islam secara keseluruhan. Sebaliknya, jika syari’at disebut bersama aqidah, maka yang dimaksudkan adalah makna khusus, yaitu hokum-hukum perintah-perintah,  dan larangan-larangan dalam masalah agama yang bukan aqidah (keyakinan).
     Kalau seorang telah mengakui percaya kepada Allah dan kepada hari kemudian, dan telah mengakui percaya kepada Rasul-rasul utusan Tuhan, niscaya dia bersiap-siap sebab dia telah percaya bahwa kelak dia akan berjumpa dengan Tuhan. Niscaya dia senantiasa berusaha di dalam hidup menempuh jalan lurus. Tak obahnya dengan orang yang mengakui diri gagah berani, dia ingin membuktikan keberaniannya ke medan perang. Seseorang yang mengakui dirinya dermawan, berusaha mencari lobang untuk menafkahkan harta bendanya kepada orang yang patut dibantu. Seorang yang mengakui dirinya orang jujur,  senantiasa menjaga supaya perkataannya jangan bercampur bohong.
     Dengan demikian, maka aqidah dan syari’at merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana  telah diketahui bahwa iman itu meliputi keyakinan dan amalan. Keyakinan inilah yang disebut dengan aqidahh, dan amalan ini yang disebut syari’at. Sehingga iman itu mencakup aqidah daan syari’at, Karena memang iman itu, jika disebutkan secara  mutlak (sendiri) maka ia mencakup keyakinan dan amalan.

2. Hubungan Fiqih(Syari’ah) dan Tasawuf
           Tasawuf sering dikaitkan dengan fahaman “hakikat itu isi dan syari’at itu kulit”. Lantaran itu segolongan orang yang merasakan diri mereka ahli tasawuf mengambil sikap memandang remeh kepada syari’at dan meringan-ringankan cuai dan mengabaikannya. Begitu juga tasawuf sering dikaitkan dengan fahaman “gugur taklif”dimana menurut fahaman ini seseorang itu apabila sampai ke satu tingkatan yang tinggi dalam hubungan dengan Tuhan akan gugur kewajiban melaksanakan syari’at.  Lantaran itu mereka tidak lagi melaksanakan sholat dan kewajiban-kewajiban agama yang lain kerana merasa cukup dengan niat dan gerak hati semata-mata. Mereka beranggapan bahwa orang-orang yang melaksanakan  kewajiban agama tersebut adalah terhijab dan bersifat kulit semata-mata.
           Fahaman ini bukanlah fahaman tasawuf yang sebenarnya. Ia adalah fahaman golongan Batiniyyah yang diserapkan  ke dalam pemikiran tasawuf. Tokoh-tokoh tasawuf telah menjelaskan kebatilan fahaman ini dalam karya-karya mereka dan meletakkan garis panduan mengenainya. Mereka menetapkan antara prinsip utama tasawuf ialah keterkaitan dengan hukum-hukum syari’at.
           Dalam peristilahan ilmu tasawuf, syari’at itu merujuk kepada pengertian suruhan atau perintah melaksanakan ubudiyyah dan perlaksanaan manusia terhadap perintah tersebut. Mengenai perkara ini al-Qushayri bahwa syari’at itu ialah perintah supaya melaksanakan ubudiyyah (perhambaan diri kepada Allah)…, syari’at itu datang dengan mentaklifkan makhluk (manusia)…, syari’at itu ialah beribadat kepada Allah…, syari’at itu ialah pelaksanaan terhadap apa yang diperintahkan. Syari’at juga adakalanya diguna pakai dikalangan ahli tasawuf dengan maksud Al-Qur’an dan juga al-Sunnah. Oleh itu keterkaitan dengan syari’at bermaksud penjagaan terhadap suruhan dan larangan Allah dan tidak menyalahi Al-Qur’an dan juga sunnah.[16]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kaitan antara aqidah, syari’at dan tasawuf ialah bagaikan sebuah pohon, terdapat akar, batang dan daun, yang saling menyatu. Bila satu hilang atau rusak, maka akan terjafi kehancuran untuk pohon tersebut.
Akidah merupakan pilar utama untuk menumbuhkan syari’at dan akhlak. Tanpa aqidah, syari’at dan tasawuf yang baik akan menjadi percuma, ataupun sebaliknya. Rasulullah pernah menjelaskan tentang pengertian ketiganya ketika jibril datang kepadanya sebagai seorang manusia.
Rasulullah sangat menekankan hubungan antara ketiganya. Tidak boleh dilepas satu sama lain. Rasulullah menegaskan barang siapa meninggalkan syari’at dan akhlak akan kehilangan keimanannya, ataupun sebaliknya. Dan Rasulullah menegaskan untuk memelihara ketiganya dalam tubuh eorang mukmin dan muslim.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan, masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan yang dapat membangun penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

      Abdurrahman Muhammad, 2016.  AKHLAQ Menjadi Seorang Muslim Berakhlaq Mulia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

      al-Ghazali Muhammad,1993. Akhlaq Seorang Muslim. Semarang: Wicaksana


http:/latifarun.blogspot.co.id/2014/09/aqidah-islam.html
    Mufid Fathul, 2009. ILMU TAUHID/KALAM.  Kudus : STAIN PRESS


Shobirin, 2009.  Fiqih Madzhab Penguasa. Kudus : CV. Brillian Media Utama
      Syaltut Mahmud, 1996. Islam Aqidah wa Syariah, I. Kairo : Dar al –Kalam.



[1]      Drs.H.Fathul Mufid, ILMU TAUHID/KALAM. Kudus : STAIN PRESS, 2009. hal 3-5
[2]      Abu Al-Fadl al-Din Muhammad bin Mukhram bin Mansur, Lisan al-‘Arab, Vol. XIII, Dar Sodr, Beirut, 1968, hlm. 522; Lois Ma’luf, al-Munzid fi al-lighat wa al-a’lam, Dar al-Masyriq, Beirut, 1986, hlm. 591; F. Steingass, Arabic Engglish Dictionary, Cosmos Publikations, New Delhi, India, 1978, hlm. 800; dan Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, ed. by. J. Milton Gowan, Otto Harrassowitz, Wiersbaden, 1979, hlm. 847
[3]      Al-Syarif Ali bin Muhammad Al-Jarjani, Kitab al-Ta’rif al-Haromain, Singapura, t.th. hlm. 168; dan Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushulal-Fikr, Dar Al-Fikr al-‘Arabi, Mesir,1958, hlm. 6.
[4]      Al-Qur’an, Surat al-Jatsiyah, ayat 18, Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1984, hlm. 817
[5]      Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, terj., Pustaka, Bandung, 1984, hlm. 3
[6]      Abu Zahrah, loc.cit; al-jarjani, loc.cit; T.M.Hasbi As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 26.
[7]       Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia , Gama Media Offset., Yogyakarta, 2001, hlm. 19-21.
[8]      Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Angkasa Raya, Padang, 1993, hlm. 16-17.
[9]      Syu’an Muhammad Ismail, al-Tasyri’ al-Islami, Maktabah al-Nadhah, Kairo, 1985, hlm. 12.
[10]      Ibid., hlm. 14
[11]      Ibid., hlm. 16      
[12]      Dr. Muhammad Abdurrahman, AKHLAQ Menjadi Seorang Muslim Berakhlaq Mulia. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada . 2016. hlm 263-267.
[13]      http:/latifarun.blogspot.co.id/2014/09/aqidah-islam.html
[14]      Shobirin, Fiqih Madzhab Penguasa. Kudus : CV. Brillian Media Utama.2009. hal 45-49
[15]      Muhammad al-Ghazali, Akhlaq Seorang Muslim, (terj). dari Moh.Rifa’I dari judul Khuluk al-Muslim, Semarang: Wicaksana: 1993. Cet.IV. hlm.68.
[16]       Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syariah, I, Kairo: Dar al –Kalam. 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar