Selasa, 19 September 2017

SEJARAH AGAMA PRIMITIF


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dilihat dari segi Agama dan Primitif (keadaan yang sangat sederhana; belum maju) yang masing – masing memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan oleh orang – orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan posisi keadaan yg sangat sederhana pada suatu kehidupan. Pada dasarnya agama primitif mempunyai dua asal-usul yaitu; pertama, suatu ajaran yang bersumber langsung dari Tuhan yang berupa wahyu yang kemudian diturunkan kepada manusia, yeng terbukti dengan diturunkannya Adam kedunia, namun terjadi penyelewengan agama oleh para pemeluknya. Sehingga agama yang pada dasarnya monotheisme menjadi politeisme dan bahkan animisme. Muka oleh sebab itu Tuhan menurunkan kembali utusannya guna meluruskan penyelewengan tersebut.
Kedua, agama bersumber pada kajian antropologis, sosiologis, historis dan psikologis, karena agama merupakan suatu fenomena sosial ataupun spiritual yang mengalami evolusi dari bentuk yang sederhana, biasa disebut dengan agama primitif, kepada bentuk yang sempurna.
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa itu agama primitif dan bagaimana karakteristiknya ?
2.    Bagaimana bentuk-bentuk agama primitif ?
3.    Bagaimana pro dan kontra tentang kepercayaan agama primitif ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Agama Primitif dan Karakteristik Masyarakat Primitif
1.      Pengertian Agama dan masyarakat Primitif
Secara epitemologis, kata primitif adalah suatu kata sifat yang berarti “sesuatu yang sederhan, bersahaja.” Kata itu memberi kesan terhadap segala sesuatu yang seakan-akan sudah kuno karena bersal dari zaman purba. Dalam arti yang seperti itu maka bisa dikatakan bahwa sesuatu yang kuno atau sudah ketiggalan zaman bila diterapkan dalam sauatu proses sejarah.
Robert H Lowie, seorang profesor dari Amerika di bidang Antropologi, dalam bukunya Primitif Religion, menyatakan bahwa pandangan  masyarkat primitif sebagai masyarakat yang sederana, bersahaja dan buta huruf itu merupakan kesimpulan, bukan merupakan suatu data yang tepat dari pengalaman.
Bagi kalangan yang berpendapat bahwa sesuatu yang primitif itu adalah sesuatu yang sudah lewat, usang atau kuno, dipandang dari masa kini atau modern, maka agama primitif menurut mereka adalah agama yang sudah kuno, maka agama primitif menurut meraka adalah agama yang sudah kuno, yaitu agama tingkat pertama dari stadium keagamaan umat manusia menurut A.G Honing, pandangan seperti itu tidak benar, karena semata-mata merupakan suatu cara pemenaran dari teori revolusi. Berdasarkan pandangan itu dibedakan menjadi berbagai tingkatan. Pada tingkat agam yang tinggi manusia mengalami kemajuan yang tinggi, sementara pada tingkat yang rendah yang rendah manusia sama sekali belum mengalami kemajaun apa-apa. Dengan kata lain, agama-agama itu setingkat dengan kemajuan budaya manusia yang mengalami proses perkembangan dari tingkat awal atau sederhana ke tingkat akhir atau sempurna. Dengan demikian agama primitif merupakan agama manusia pada tingkatan yang pertama, yang selanjutnya mengalami kemajuan-kemajuan melalui politisme menuju monotoisme.
Berdasarka hasil penemuan itu dijelaskan adanya sifat-sifat primitif pada orang modern, dan sebaliknya terdapat corak-corak modern pada manusia primitif. Jadi, sifat-sifat primitif bukan saja terdapat pada manusia pada tingkata pemulaan sesuai pandangan kaum evolusionis. [1]
Dari pandangan sejarah agama, istilah tersebut digunakan dan diterapkan dalam suatu pengertian yang lebih luas untuk menunjukkakn kepercayaan terhadap adanya makhluk spiritual yang erat sekali hubungannya dengan tubuh atau jasad. Makhluk spiritual tadi merupakan suatu unsur yang kemudian membentuk jiwa dan kepribadian yang tidak lagi dengan suatu jasad yang membatasinya. Dalam studi tentang sejarah agama primitif, dikenal “necrolatry”, “spiritisme”, “naturisme”, dan animisme. Necrolatry adalah pemujaan terhadap roh-roh atau jiwa manusia dan binatang, terutama pemujaan terhadap roh orang yang telah meninggal. Spiritisme adalah pemujaan terhadap makhluk spiritual yang tidak dihubungkan dalam suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad tertentu dan obyek-obyek tertentu. Naturisme adalah pemujaan terhadap mahluk spiritual yang dikaitkan dengan fenomena alam dan kekuatan kosmos yang besar seperti angin, sungai, bintang-bintang, langit dan juga obyek-obyek yang menyelimuti bumi ini, yaitu tanaman-tanaman dan binatang. Sedangkan pada animisme tekanan pemujaannya adalah pada makhluk spiritual yang obyeknya tidak dapat dilihat oleh mata manusia. [2]
Animisme juga memberi pengertian yang merupakan suatu usaha untuk menjelaskan fakta-fakta alam semesta dalam suatu cara yang bersifat rasional. Karenanya lalu sering dikatakan “kepercayaan” atau agama” dan “filsafat” masyarakat yang belum berperadaban. Karena obyek-obyek tadi sangat berkuasa dan memnentukan keselamanatan manusia, maka manusia lalu menghormatinya, memuja, dan menyembahnya. Tingkatan pemujaan dan penyembahan ini berdasarkan atas tingkatan rasa takut, penghargaan, rasa ketergantungan dan kebutuhan terhadapnya. Animisme sangat populer dikalangan masyarakat primitif sehingga memberi kesan sebagai “agama primitif”.

2.      Karakteristik Masyarakat Primitif
Menurut Romadhon dan kawan-kawan (1988), sifat atau ciri-ciri masyrakat primitif, yang dapat pula disebut dengan struktur rohani yang primitif, adalah sebgai berikut, yaitu:
a)      Hubungan antara Subjek dan Objek
Sikap dan pengalaman keagamaan manusia primitif dapat diketahui dalam pandanganya tentang dunia atau kosmos. Manusia primitif melihat dunia dan alam sekelilingnya bukan sebagai obyek, atau sebagai bahan pemikiran dan perbuatannya, tetapi dipandang sebagai subyek seperti dirinya sendiri. Jadi ia memandang dirinya sebgai salah satu subyek-subyek yang banyak sekali jumlahnya, yang membentuk struktur dunia itu sendiri. 
b)      Kesadaran Totaliter tentang Dunia
Sebagai akibat dari pandangan yang tidak membedakan antara subyek dan objek, maka manusia primitif hidup di dunia ini ibarat hidup diantara makhluk-makhluk. Ia tidak begitu memikirkan suatu yang terjadi di dunia ini, apalagi taraf memanfaatkannya dengan mencoba mengadakan pemikiran ataupun penelitian. Sebagai contoh dalam hal makan. Baginya hidup adalah suatu keutuhan antara dirinya dengan dunia, sehingga segala hal yang mereka lakukan dalam hidup ini dimasukan dalam bidang keagamaan. Pandangan seperti ini disebut dengan kesadaran yang totaliter dengan dunia.
c)      Partisipasi
Manusia primitif memiliki kesadaran untuk ikut serta atau ambil bagian dalam sesuatu. Dengan kata lain, memiliki kesadaran akan adanya persamaan keadaan yang dialami oleh seseorang yang lainnya, bukan hanya dalam hubungan dengan sesama manusia tetapi juga terhadap binatang atau beda. 
d)     Pandangan Dunia Secara Magis
Dalam agama primitif pengertian magi lebih luas dari pada sihir. Bagi agama primitif, magi adalah suatu cara berfikir dan suatu cara hidup yang mempunyai arti lebih tinggi dari pada apa yang dibuat oleh ahli sihir secara perorangan. Dasar yang dipedomani oleh orang yang percaya pada magi ini adalah bahwa dunia penuh dengan daya-daya ghaib, manusia modrn menganggapnya sebagai daya alam yang dapat digunakan oleh manusia.
Sikap hidup magis berarti suatu usaha perlakuan manusia terhadap kekuasaan-kekuasaan yang dijumpai. Disini manusia tidak tunduk kepada kekuasaan-kekuasaan yang dijumpainya itu, tetapi berusaha menakhlukanya.

e)      Sikap hidup serba mistis
Dalam kehidupan manusia megis, sebagai telah dituturkan di atas, manusia seolah-olah memasukan alam dunia kedalam dirinya, dan dirinya sendirilah yang berkuasa atas dunia “ciptaanya” itu. Manusia “mitis” justru sebaliknya, yaitu seakan-akan membawa kehidupan perasaan dan pikiranya keluar. Jika manusia modern terbiasa menggunakan pengertian-pengertian dalam menghadapi dunia ini, maka manusia mitis lebih menekankan berfikir dalam bentuk perwujudan-perwujudan. Inilah dua sisi manusia yang berlaianan.
 
f)       Sikap hidup dalam upacara keagamaan
Pengulang peristia-peritia yang azali tidak terjadi dengan sendirinya tetapi harus dinyatakan oleh manusia, yang harus memelihara kelangsungan kejadian-kejadian di alam dunia ini. Hubungan antara ketertiban dunia dan ketertiban upacara dalam pandangan manusi primitif, adalah sangat erat. Denga kata lain, terdapat hubungan saling ketergantungan antar keduanya. Apabila manusia kurang memperhatikan ketertiban upacara, maka ketertiban dunia juga menjadi ketergantungan.
Seluruh hidup manusia primitif diliputi oleh hidup keagamaan dan segala perbuatanyaadalah perbuatan keagamaan. Pengerjan sawah ladang, makan, perkawinan dan berbuatan-perbuatan lainya, yang oleh manusia modrn dianggep hanya sebagai aktifitas manusia yng tidak ada sangkut pautnya dengan kekuasaan alam , semuanya mengandung arti sebagai suatau upacara keagamaan, karena melalui perbuatan-perbuatan tersebut akan terulang peristiwa-peritiwa kosmis yang besar.[3]

B.        Bentuk-bentuk Agama Primitif
Pada dasarnya bentuk Agama ada yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah Animisme, Dinamisme, Monoteisme, Politeisme dll. Adapun pengertiannya adalah sebagai berikut:
Ø  Agama Dinamisme ialan : Agama yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda – benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari – hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut ‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.
Ø  Agama Animisme ialah : Agama yang mengajarkan bahwa tiap – tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Bagi masyarakat primitif roh masih tersusun dari materi yang halus sekali yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dari benda – benda tertentu adakalanya mempunyai pengaruh yang dasyat terhadap kehidupan manusia, Misalnya : Hutan yang lebat, pohon besar dan ber daun lebat, gua yang gelap dll.
Ø  Agama Monoteisme ialah: Adanya pengakuan yang hakiki bahwa Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta dan seluruh isi kehidupan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Ø  Agama Politeisme ialah: mengandung kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa-dewa dalam politeisme talah mempunyai tugas-tugas tertentu. Tujuan beragama dalam politeisme bukan hanya memberi sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang bersangkutan.[4]

Persamaan dari agama-agama primitif tersebut adalah manusia membujuk kekuatan supernatural dengan penyembahan dan saji-sajian supaya mengikuti kemauan manusia. Perbedaan politeisme dan henoteisme? Jika pada politeisme, kepercayaan kepada dewa-dewa dan mengakui dewa terbesar diantara para dewa. Pada henoteisme, mengakui satu tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa lainnya mempunyai tuhannya sendiri. Keduanya masih menyakini dewa-dewa lain atau tuhan-tuhan lain(bukan monoteisme).[5]



C.    Pro Dan Kontra Tentang Kepercayaan Agama Primitif
Religi, dengan  segala upacaranya merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam agam primitif. Hal tersebut telah banyak menarik perhatian para pengarang etnografi (strategi penelitian ilmiah yang sering digunakan dalam ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan beberapa cabang sosiolog)[6] terutama pada abad 19 yang lalu. Selanjutnya banyak ahli dari berbagai bidang ilmu mengadakan studi dalam penelitian tentang dasar asal-usul agama. Kegiatan ini sejalan dengan periode pertama dari sejarah perkembangan teori antropologi dalam dasa warsa akhir abad 19 dan awal abad 20.
Maka dari itu, mereka melihat dari sisi lain, yaitu melihat elemen-elemen pokok yang terdapat dalam suatu agama secara umum kemudian meneliti elemen-elemen  yang terdapat dalam kepercayaan primitif, jika terdapat kesamaan, maka kepercayaan primitif dapat dimasukkan ke dalam agama.
Para ahli agama menjelaskan bahwa suatu agama harus mengandung 4 (empat) unsur pokok. Apabila tidak memilikinya, maka tidak dapat dikatakan agama. Empat unsur pokok tersebut ialah :
1.   Adanya Zat yang sakral.
2.   Adanya kitab suci.
3.   Adanya sistem ibadah
4.   Adanya kelompok/jama’ah.

Unsur yang pertama “Adanya Zat yang Sakral” dalam kepercayaan primitif juga ditemui adanya kekuatan yang supernatural, jadi berupa spirit, roh (animus), yaitu kekuatan (dynamus). Dalam kepercayaan primitif terdapat adanya unsur zat atau kekuatan yang luar biasa, bersifat Ilahi, dipuja dan disembah dengan bentuk kebaktian, demi terwujudnya kelanggengan hidup individu dan masyarakat.
Unsur yang kedua “Kitab Suci” secara fisik unsur ini memang tidak ada dalam dunia kepercayaan primitif, namun sesuatu yang berfungsi sebagai kitab suci itu, yakni sebagai dasar atau landasan hidup keagamaan dalam kalangan primitif juga ada, yaitu dengan tradisi lisan, yang mendapat dukungan sepenuhnya oleh apa yang disebut dengan mythos.
Unsur yang ketiga “Adanya Sistem Ibadah” dalam kepercayaan primitif, Mythos-lah yang dipandang sebagai pemberi arahan atau cara seseorang dalam menjalankan ibadah, seperti :cara memberi sesajen.
Unsur yang keempat “Adanya Kelompok Atau Jamaah” dalam pemangku kepercayaan primitif juga ditemui yang namanya kelompok atau jama’ah. Dari paparan di atas merupakan argumen yang pro bahwa primitif adalah bagian dari agama.[7]
Demikian pula dengan yang kontra, apabila primitif merupakan bagian dari agama, mereka juga memiliki argumen yang kuat. Menurut kelompok yang tidak setuju, mereka melihat dalam kepercayaan primitif ada sesuatu yang tidak layak ada agama. Hal itu ialah penggunaan “Mantera” dan “Magis”. Suatu mantera, merupakan kalimat magis yang dinyanyikan atau diucapkan orang untuk memperoleh hasil-hasil yang dianggap berguna, seperti contoh melakukan mantera utuk memanggil arwah dan meminta hujan. Di sinilah keberatan pihak yang menolak kepercayaan primitif sebagai agama. Jika mantera bersifat formula atau perkataan (tepatnya bacaan), maka manntera adalah bersifat perbuatan. Matera  diartikan sebagai suatu perbuatan yang menghasilkan proses gaib bagi pencapaian sesuatu keperluan.
Menurut pihak-pihak yang menolak kepercayaan primitif sebagai agama adalah disebabkan penilaian mereka terhadap magis itu sebagai suatu perbuatan yang tidak sewajarnya dalam agama dan bersifat merusak agama.
   Secara logika, Magis memang tidak sewajarnya ada dalam agama. Sebab apa yang telah diakui sebagai Tuhan, tentu tidak memungkinkan lagi adanya kekuatan lain yang mampu menundukannya. Pemeluk agama, berbeda dengan pelaku magis (tukang sihir), pemeluk agama memiliki sikap kagum dan hormat kepada tujuan-tujuan sakral yang dikejarnya. Baginya tujuan-tujuan itu harus tidak berlawanan dengan caranya. Di lain pihak pelaku magis seperti “sedang melakukan bisnis” untuk memperoleh hasil-hasil yang praktis dan yang dipilih secara seenaknya. Baginya sikap hormat dan kagum itu tidak diperlukan karena dia adalah manipulator (dalang) dari yang gaib demi tercapainya tujuan-tujuan pribadinya sendiri sedangkan langganannya, tidak lain adalah penyembah yang gaib tersebut.[8]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara epitemologis, kata primitif adalah suatu kata sifat yang berarti “sesuatu yang sederhan, bersahaja.” Kata itu memberi kesan terhadap segala sesuatu yang seakan-akan sudah kuno karena bersal dari zaman purba. Dalam arti yang seperti itu maka bisa dikatakan bahwa sesuatu yang kuno atau sudah ketiggalan zaman bila diterapkan dalam sauatu proses sejarah.
Pada dasarnya bentuk Agama ada yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat primitif ialah Animisme, Dinamisme, Monoteisme, Politeisme dll.
Mengenai pro dan kontra tentang kepercayaan agama primitif, bahwa agama primitif dapat dipercayai kebenarannya sebagai agama melalui 4 unsur agama yang telah dikemukakan di atas, namun menurut mereka yang kontra, melihat bahwa dalam kepercayaan primitif ada sesuatu yang tidak layak ada dalam agama. Hal itu ialah penggunaan “Mantera” dan “Magis”.






DAFTAR PUSTAKA
Choiron. 2009. Perbandingan Agama. (Kudus : STAIN Kudus)
Hasjmy A. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam Cet. Ke-5. ( Jakarta : PT Karya Uni Press)
Prasetya Tri dan Joko. 1998. Ilmu Budaya Dasar. (Jakarta : PT Rineka Cipta)
Jirhanuddin. 2010. Perbandingan Agama. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
file:///C:/Users/win%207%20pro/Downloads/Documents/jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-4.pdf.  Diakses pada tanggal 10-09-2017 jam 13.00 WIB
Dikases pada tanggal 14 September 2017 dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Etnografi



[1] Choiron, Perbandingan Agama, (Kudus: STAIN Kudus, 2009) hlm. 25
[2] file:///C:/Users/win%207%20pro/Downloads/Documents/jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-4.pdf.  Diakses pada tanggal 10-09-2017 jam 13.00 WIB

[3]  Choiron, op.cit., Hlm. 38.
[4] Hasjmy.A.Prof, Sejarah Kebudayaan Islam Cet. Ke – 5, (Jakarta : PT Karya Uni Press, 1995),. Hlm. 21-22.
[5] Joko Tri Prasetyo, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta : PT Rineka Cip, 1998),. Hlm. 48
[6]  Dikases pada tanggal 14 September 2017 dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Etnografi
[7] Choiron., op.cit., hlm. 50-52
[8] Jirhanuddin, Perbandingan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010),.  Hlm. 57


Tidak ada komentar:

Posting Komentar