BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dilihat dari
segi Agama dan Primitif (keadaan yang sangat sederhana; belum maju) yang masing
– masing memiliki keeratan satu sama lain, sering kali banyak di salah artikan
oleh orang – orang yang belum memahami bagaimana menempatkan posisi Agama dan
posisi keadaan yg sangat sederhana pada suatu kehidupan. Pada dasarnya agama
primitif mempunyai dua asal-usul yaitu; pertama, suatu ajaran yang
bersumber langsung dari Tuhan yang berupa wahyu yang kemudian diturunkan kepada
manusia, yeng terbukti dengan diturunkannya Adam kedunia, namun terjadi
penyelewengan agama oleh para pemeluknya. Sehingga agama yang pada dasarnya monotheisme
menjadi politeisme dan bahkan animisme. Muka oleh sebab itu Tuhan menurunkan
kembali utusannya guna meluruskan penyelewengan tersebut.
Kedua, agama bersumber pada kajian antropologis,
sosiologis, historis dan psikologis, karena agama merupakan suatu fenomena
sosial ataupun spiritual yang mengalami evolusi dari bentuk yang sederhana,
biasa disebut dengan agama primitif, kepada bentuk yang sempurna.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa itu agama primitif dan bagaimana
karakteristiknya ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk agama
primitif ?
3. Bagaimana pro dan kontra tentang
kepercayaan agama primitif ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Agama Primitif dan Karakteristik Masyarakat Primitif
1.
Pengertian
Agama dan masyarakat Primitif
Secara epitemologis, kata primitif adalah suatu kata sifat yang
berarti “sesuatu yang sederhan, bersahaja.” Kata itu memberi kesan terhadap
segala sesuatu yang seakan-akan sudah kuno karena bersal dari zaman purba. Dalam
arti yang seperti itu maka bisa dikatakan bahwa sesuatu yang kuno atau sudah
ketiggalan zaman bila diterapkan dalam sauatu proses sejarah.
Robert H Lowie, seorang profesor dari Amerika di bidang
Antropologi, dalam bukunya Primitif Religion, menyatakan bahwa pandangan masyarkat primitif sebagai masyarakat yang
sederana, bersahaja dan buta huruf itu merupakan kesimpulan, bukan merupakan
suatu data yang tepat dari pengalaman.
Bagi kalangan yang berpendapat bahwa sesuatu yang primitif itu
adalah sesuatu yang sudah lewat, usang atau kuno, dipandang dari masa kini atau
modern, maka agama primitif menurut mereka adalah agama yang sudah kuno, maka
agama primitif menurut meraka adalah agama yang sudah kuno, yaitu agama tingkat
pertama dari stadium keagamaan umat manusia menurut A.G Honing, pandangan
seperti itu tidak benar, karena semata-mata merupakan suatu cara pemenaran dari
teori revolusi. Berdasarkan pandangan itu dibedakan menjadi berbagai tingkatan.
Pada tingkat agam yang tinggi manusia mengalami kemajuan yang tinggi, sementara
pada tingkat yang rendah yang rendah manusia sama sekali belum mengalami
kemajaun apa-apa. Dengan kata lain, agama-agama itu setingkat dengan kemajuan
budaya manusia yang mengalami proses perkembangan dari tingkat awal atau sederhana
ke tingkat akhir atau sempurna. Dengan demikian agama primitif merupakan agama
manusia pada tingkatan yang pertama, yang selanjutnya mengalami
kemajuan-kemajuan melalui politisme menuju monotoisme.
Berdasarka hasil penemuan itu dijelaskan adanya sifat-sifat
primitif pada orang modern, dan sebaliknya terdapat corak-corak modern pada
manusia primitif. Jadi, sifat-sifat primitif bukan saja terdapat pada manusia
pada tingkata pemulaan sesuai pandangan kaum evolusionis. [1]
Dari
pandangan sejarah agama, istilah tersebut digunakan dan diterapkan dalam suatu
pengertian yang lebih luas untuk menunjukkakn kepercayaan terhadap adanya
makhluk spiritual yang erat sekali hubungannya dengan tubuh atau jasad. Makhluk
spiritual tadi merupakan suatu unsur yang kemudian membentuk jiwa dan
kepribadian yang tidak lagi dengan suatu jasad yang membatasinya. Dalam studi
tentang sejarah agama primitif, dikenal “necrolatry”,
“spiritisme”, “naturisme”, dan animisme. Necrolatry
adalah pemujaan terhadap roh-roh atau jiwa manusia dan binatang, terutama
pemujaan terhadap roh orang yang telah meninggal. Spiritisme adalah pemujaan terhadap makhluk spiritual yang tidak
dihubungkan dalam suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad tertentu dan
obyek-obyek tertentu. Naturisme
adalah pemujaan terhadap mahluk spiritual yang dikaitkan dengan fenomena alam
dan kekuatan kosmos yang besar seperti angin, sungai, bintang-bintang, langit
dan juga obyek-obyek yang menyelimuti bumi ini, yaitu tanaman-tanaman dan
binatang. Sedangkan pada animisme tekanan pemujaannya adalah pada makhluk
spiritual yang obyeknya tidak dapat dilihat oleh mata manusia. [2]
Animisme juga memberi pengertian yang merupakan suatu usaha
untuk menjelaskan fakta-fakta alam semesta dalam suatu cara yang bersifat
rasional. Karenanya lalu sering dikatakan “kepercayaan” atau agama” dan
“filsafat” masyarakat yang belum berperadaban. Karena obyek-obyek tadi sangat
berkuasa dan memnentukan keselamanatan manusia, maka manusia lalu
menghormatinya, memuja, dan menyembahnya. Tingkatan pemujaan dan penyembahan
ini berdasarkan atas tingkatan rasa takut, penghargaan, rasa ketergantungan dan
kebutuhan terhadapnya. Animisme
sangat populer dikalangan masyarakat primitif sehingga memberi kesan sebagai “agama primitif”.
2.
Karakteristik
Masyarakat Primitif
Menurut
Romadhon dan kawan-kawan (1988), sifat atau ciri-ciri masyrakat primitif, yang
dapat pula disebut dengan struktur rohani yang primitif, adalah sebgai berikut,
yaitu:
a)
Hubungan
antara Subjek dan Objek
Sikap dan
pengalaman keagamaan manusia primitif dapat diketahui dalam pandanganya tentang
dunia atau kosmos. Manusia primitif melihat dunia dan alam sekelilingnya bukan
sebagai obyek, atau sebagai bahan pemikiran dan perbuatannya, tetapi dipandang
sebagai subyek seperti dirinya sendiri. Jadi ia memandang dirinya sebgai salah
satu subyek-subyek yang banyak sekali jumlahnya, yang membentuk struktur dunia
itu sendiri.
b)
Kesadaran
Totaliter tentang Dunia
Sebagai akibat
dari pandangan yang tidak membedakan antara subyek dan objek, maka manusia
primitif hidup di dunia ini ibarat hidup diantara makhluk-makhluk. Ia tidak
begitu memikirkan suatu yang terjadi di dunia ini, apalagi taraf
memanfaatkannya dengan mencoba mengadakan pemikiran ataupun penelitian. Sebagai
contoh dalam hal makan. Baginya hidup adalah suatu keutuhan antara dirinya
dengan dunia, sehingga segala hal yang mereka lakukan dalam hidup ini dimasukan
dalam bidang keagamaan. Pandangan seperti ini disebut dengan kesadaran yang
totaliter dengan dunia.
c)
Partisipasi
Manusia
primitif memiliki kesadaran untuk ikut serta atau ambil bagian dalam sesuatu.
Dengan kata lain, memiliki kesadaran akan adanya persamaan keadaan yang dialami
oleh seseorang yang lainnya, bukan hanya dalam hubungan dengan sesama manusia
tetapi juga terhadap binatang atau beda.
d)
Pandangan
Dunia Secara Magis
Dalam agama
primitif pengertian magi lebih luas dari pada sihir. Bagi agama primitif, magi
adalah suatu cara berfikir dan suatu cara hidup yang mempunyai arti lebih
tinggi dari pada apa yang dibuat oleh ahli sihir secara perorangan. Dasar yang
dipedomani oleh orang yang percaya pada magi ini adalah bahwa dunia penuh
dengan daya-daya ghaib, manusia modrn menganggapnya sebagai daya alam yang dapat
digunakan oleh manusia.
Sikap hidup
magis berarti suatu usaha perlakuan manusia terhadap kekuasaan-kekuasaan yang
dijumpai. Disini manusia tidak tunduk kepada kekuasaan-kekuasaan yang
dijumpainya itu, tetapi berusaha menakhlukanya.
e)
Sikap
hidup serba mistis
Dalam kehidupan
manusia megis, sebagai telah dituturkan di atas, manusia seolah-olah memasukan
alam dunia kedalam dirinya, dan dirinya sendirilah yang berkuasa atas dunia
“ciptaanya” itu. Manusia “mitis” justru sebaliknya, yaitu seakan-akan membawa kehidupan
perasaan dan pikiranya keluar. Jika manusia modern terbiasa menggunakan
pengertian-pengertian dalam menghadapi dunia ini, maka manusia mitis lebih
menekankan berfikir dalam bentuk perwujudan-perwujudan. Inilah dua sisi manusia
yang berlaianan.
f)
Sikap
hidup dalam upacara keagamaan
Pengulang peristia-peritia yang azali tidak terjadi dengan
sendirinya tetapi harus dinyatakan oleh manusia, yang harus memelihara
kelangsungan kejadian-kejadian di alam dunia ini. Hubungan antara ketertiban
dunia dan ketertiban upacara dalam pandangan manusi primitif, adalah sangat
erat. Denga kata lain, terdapat hubungan saling ketergantungan antar keduanya.
Apabila manusia kurang memperhatikan ketertiban upacara, maka ketertiban dunia
juga menjadi ketergantungan.
Seluruh hidup manusia primitif diliputi oleh hidup keagamaan dan
segala perbuatanyaadalah perbuatan keagamaan. Pengerjan
sawah ladang, makan, perkawinan dan berbuatan-perbuatan lainya, yang oleh
manusia modrn dianggep hanya sebagai aktifitas manusia yng tidak ada sangkut
pautnya dengan kekuasaan alam , semuanya mengandung arti sebagai suatau upacara
keagamaan, karena melalui perbuatan-perbuatan tersebut akan terulang
peristiwa-peritiwa kosmis yang besar.[3]
B.
Bentuk-bentuk Agama Primitif
Pada dasarnya bentuk Agama ada
yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah
meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang terdapat dalam masyarakat
primitif ialah Animisme, Dinamisme, Monoteisme, Politeisme dll. Adapun pengertiannya adalah sebagai
berikut:
Ø
Agama Dinamisme ialan : Agama yang mengandung
kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda –
benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan
manusia sehari – hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan ada pula
yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut ‘mana’
dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.
Ø
Agama Animisme ialah : Agama yang mengajarkan
bahwa tiap – tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai
roh. Bagi masyarakat primitif roh masih tersusun dari materi yang halus sekali
yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dari benda – benda tertentu
adakalanya mempunyai pengaruh yang dasyat terhadap kehidupan manusia, Misalnya
: Hutan yang lebat, pohon besar dan ber daun lebat, gua yang gelap dll.
Ø Agama Monoteisme ialah: Adanya
pengakuan yang hakiki bahwa Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta
dan seluruh isi kehidupan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
Ø Agama Politeisme ialah: mengandung
kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa-dewa dalam politeisme talah mempunyai
tugas-tugas tertentu. Tujuan beragama dalam politeisme bukan hanya memberi
sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa
kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang bersangkutan.[4]
Persamaan dari agama-agama primitif tersebut adalah
manusia membujuk kekuatan supernatural dengan penyembahan dan saji-sajian
supaya mengikuti kemauan manusia. Perbedaan politeisme dan henoteisme? Jika
pada politeisme, kepercayaan kepada dewa-dewa dan mengakui dewa terbesar
diantara para dewa. Pada henoteisme, mengakui satu tuhan untuk satu bangsa, dan
bangsa-bangsa lainnya mempunyai tuhannya sendiri. Keduanya masih menyakini
dewa-dewa lain atau tuhan-tuhan lain(bukan monoteisme).[5]
C. Pro
Dan Kontra Tentang Kepercayaan Agama Primitif
Religi, dengan segala
upacaranya merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisahkan
dalam agam primitif. Hal tersebut telah banyak menarik perhatian para pengarang
etnografi (strategi penelitian ilmiah yang sering digunakan dalam
ilmu sosial, terutama dalam antropologi dan beberapa cabang sosiolog)[6]
terutama pada abad 19 yang lalu. Selanjutnya banyak ahli dari berbagai bidang
ilmu mengadakan studi dalam penelitian tentang dasar asal-usul agama. Kegiatan
ini sejalan dengan periode pertama dari sejarah perkembangan teori antropologi
dalam dasa warsa akhir abad 19 dan awal abad 20.
Maka dari itu, mereka melihat dari
sisi lain, yaitu melihat elemen-elemen pokok yang terdapat dalam suatu agama
secara umum kemudian meneliti elemen-elemen yang terdapat dalam
kepercayaan primitif, jika terdapat kesamaan, maka kepercayaan primitif dapat
dimasukkan ke dalam agama.
Para ahli agama menjelaskan bahwa
suatu agama harus mengandung 4 (empat) unsur pokok. Apabila tidak memilikinya,
maka tidak dapat dikatakan agama. Empat unsur pokok tersebut ialah :
1. Adanya
Zat yang sakral.
2. Adanya
kitab suci.
3. Adanya
sistem ibadah
4. Adanya
kelompok/jama’ah.
Unsur yang pertama “Adanya Zat
yang Sakral” dalam kepercayaan primitif juga ditemui adanya kekuatan
yang supernatural, jadi berupa spirit, roh (animus), yaitu kekuatan
(dynamus). Dalam kepercayaan primitif terdapat adanya unsur zat atau
kekuatan yang luar biasa, bersifat Ilahi, dipuja dan disembah dengan bentuk
kebaktian, demi terwujudnya kelanggengan hidup individu dan masyarakat.
Unsur yang kedua “Kitab
Suci” secara fisik unsur ini memang tidak ada dalam dunia
kepercayaan primitif, namun sesuatu yang berfungsi sebagai kitab suci itu,
yakni sebagai dasar atau landasan hidup keagamaan dalam kalangan primitif juga
ada, yaitu dengan tradisi lisan, yang mendapat dukungan sepenuhnya oleh apa
yang disebut dengan mythos.
Unsur yang ketiga “Adanya
Sistem Ibadah” dalam kepercayaan primitif, Mythos-lah yang
dipandang sebagai pemberi arahan atau cara seseorang dalam menjalankan ibadah,
seperti :cara memberi sesajen.
Unsur yang keempat “Adanya
Kelompok Atau Jamaah” dalam pemangku kepercayaan primitif juga ditemui yang
namanya kelompok atau jama’ah. Dari paparan di atas merupakan argumen yang pro
bahwa primitif adalah bagian dari agama.[7]
Demikian pula dengan yang kontra,
apabila primitif merupakan bagian dari agama, mereka juga memiliki argumen yang
kuat. Menurut kelompok yang tidak setuju, mereka melihat dalam kepercayaan
primitif ada sesuatu yang tidak layak ada agama. Hal itu ialah penggunaan
“Mantera” dan “Magis”. Suatu mantera, merupakan kalimat magis yang dinyanyikan
atau diucapkan orang untuk memperoleh hasil-hasil yang dianggap berguna,
seperti contoh melakukan mantera utuk memanggil arwah dan meminta hujan. Di
sinilah keberatan pihak yang menolak kepercayaan primitif sebagai agama. Jika
mantera bersifat formula atau perkataan (tepatnya bacaan), maka manntera adalah
bersifat perbuatan. Matera diartikan sebagai suatu perbuatan
yang menghasilkan proses gaib bagi pencapaian sesuatu keperluan.
Menurut pihak-pihak yang menolak
kepercayaan primitif sebagai agama adalah disebabkan penilaian mereka
terhadap magis itu sebagai suatu perbuatan yang tidak sewajarnya
dalam agama dan bersifat merusak agama.
Secara logika, Magis
memang tidak sewajarnya ada dalam agama. Sebab apa yang telah diakui sebagai
Tuhan, tentu tidak memungkinkan lagi adanya kekuatan lain yang mampu
menundukannya. Pemeluk agama, berbeda dengan pelaku magis (tukang
sihir), pemeluk agama memiliki sikap kagum dan hormat kepada tujuan-tujuan
sakral yang dikejarnya. Baginya tujuan-tujuan itu harus tidak berlawanan dengan
caranya. Di lain pihak pelaku magis seperti “sedang melakukan bisnis”
untuk memperoleh hasil-hasil yang praktis dan yang dipilih secara seenaknya.
Baginya sikap hormat dan kagum itu tidak diperlukan karena dia adalah
manipulator (dalang) dari yang gaib demi tercapainya tujuan-tujuan pribadinya
sendiri sedangkan langganannya, tidak lain adalah penyembah yang gaib tersebut.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara epitemologis, kata primitif adalah suatu kata sifat yang
berarti “sesuatu yang sederhan, bersahaja.” Kata itu memberi kesan terhadap
segala sesuatu yang seakan-akan sudah kuno karena bersal dari zaman purba.
Dalam arti yang seperti itu maka bisa dikatakan bahwa sesuatu yang kuno atau
sudah ketiggalan zaman bila diterapkan dalam sauatu proses sejarah.
Pada dasarnya bentuk Agama ada
yang bersifat primitif dan ada pula yang dianut oleh masyarakat yang telah
meninggalkan fase keprimitifan. Agama-agama yang terdapat dalam
masyarakat primitif ialah Animisme, Dinamisme, Monoteisme, Politeisme dll.
Mengenai pro dan kontra tentang
kepercayaan agama primitif, bahwa agama primitif dapat dipercayai kebenarannya
sebagai agama melalui 4 unsur agama yang telah dikemukakan di atas, namun menurut mereka yang kontra, melihat
bahwa dalam kepercayaan primitif ada sesuatu yang tidak layak ada dalam agama.
Hal itu ialah penggunaan “Mantera” dan “Magis”.
DAFTAR PUSTAKA
Choiron.
2009. Perbandingan Agama. (Kudus : STAIN Kudus)
Hasjmy
A. 1995. Sejarah Kebudayaan Islam Cet. Ke-5. ( Jakarta : PT Karya Uni Press)
Prasetya
Tri dan Joko. 1998. Ilmu Budaya Dasar.
(Jakarta : PT Rineka Cipta)
Jirhanuddin.
2010. Perbandingan Agama. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
file:///C:/Users/win%207%20pro/Downloads/Documents/jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-4.pdf. Diakses pada tanggal 10-09-2017 jam 13.00 WIB
Dikases pada tanggal 14 September
2017 dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Etnografi
[1] Choiron, Perbandingan Agama, (Kudus: STAIN Kudus, 2009) hlm. 25
[2] file:///C:/Users/win%207%20pro/Downloads/Documents/jtptiain-gdl-s1-2004-sulastri41-92-Bab-4.pdf.
Diakses pada tanggal 10-09-2017 jam
13.00
WIB
[3]
Choiron, op.cit., Hlm. 38.
[4] Hasjmy.A.Prof, Sejarah Kebudayaan Islam Cet. Ke – 5, (Jakarta : PT Karya Uni
Press, 1995),. Hlm. 21-22.
[6] Dikases pada tanggal 14 September 2017 dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Etnografi
[7]
Choiron., op.cit., hlm.
50-52
[8]
Jirhanuddin, Perbandingan Agama,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010),.
Hlm. 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar