Selasa, 19 September 2017

MOTIVASI DAN KEPEMIMPINAN

MOTIVASI DAN KEPEMIMPINAN
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
            Semakin berkembangnya zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tingkat sumber daya manusia yang dibutuhkan juga meningkat. Perusahaan-perusahaan bersaing untuk mencari tenaga kerja yang berkompeten, karena tenaga kerja yang berkompeten merupakan aset penting sebuah perusahaan untuk mencapai tujuannya. Selain tenaga kerja yang berkompeten, gaya kepemimipinan seorang pemimpin juga mempengaruhi kesuksesan perusahaan tersebut. Pada dasarnya setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Para peneliti telah mengidentifikasikan dua gaya kepemimpinan yaitu : gaya dengan orientasi tugas (task-oriented) dan gaya orientasi karyawan (employee-oriented). Manajer berorinentasi  tugas mengarahkan dan mengawasi bawahan secara tertutup untuk menjamin tugas dilaksanakan sesuai yang diinginkan. Sedangkan manajer berorientasi karyawan mencoba untuk lebih memotivasi bawahan dibandingkan mengawasi mereka. Kepemimpin berhubungan sangat erat dengan motivasi. Karena keberhasilan perusahaan dalam mencapai tujuannya adalah bagaimana seorang pemimpin menggerakkan pegawainya, dan memberikan motivasi kepada pegawai untuk mencapai tujuan perusahaan.
            Peranan pemimpin sangat mempengaruhi tingkat kinerja pegawai. Pemimpin yang dapat menciptakan hubungan yang harmonis dengan bawahannya dapat meningkatkan kinerja bawahannya. Sedangkan pemimpin yang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan bawahannya menyebabkan rendahnya kinerja karyawan karena kurangnya motivasi yang diberikan pemimpin pada bawahannya.
Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian motivasi dan kepemimpinan ?
2.      Bagaimana pengaruh motivasi yang diberikan pemimpin pada karyawannya ?
3.      Bagaimana gaya kepemimpinan yang efektif ?
Tujuan
1.      Menjelaskan pengertian manajemen
2.      Mendeskripsikan perspektif  kebutuhan, keseimbangan dan keadilan, pengharapan,  dan penguatan
3.      Memaparkan konsep kepemimpinan
4.      Menjelaskan pendekatan kepemimpinan, sifat, dan perilaku kepemimpinan
5.      Menjelaskan teori X dan teori Y
Menjelaskan pendekatan situasional- tori contingency
Pembahasan
I.                  Pengertian Motivasi
            [1]Motivasi (motivation)  adalah berbagai factor yang menyebabkan, menyalurkan, dan memepertahankan tingkah laku individual. Motivasi juga dapat diartikan sebagai kebutuhan yang mendorong perbuatan ke arah suatu tujuan tertentu.Secara hakiki manusia mempunyai sejumlah kebutuhan, yang pada saat tertentu menuntut pemuasan. Hal-hal yang dapat memberikan pemuasan pada kebutuhan tertentu, menjadi tujuan kebutuhan tersebut. Kebutuhan dan tujuan itu menimbulkan dan mendorong adanya usaha, yang terlihat sebagai tingkah laku (perbuatan).
[2]Menurut French dan Raven, sebagaimana dikutip Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), motivasi is the set of forces that cause people to behave in certain ways.Perilaku yang diharapkan untuk ditunjukkan oleh tenaga kerja untuk perusahaan adalah kinerja terbaik. Kinerja terbaik menurut Griffin (2000) ditentikan oleh 3 faktor, yaitu : motivasi, kemampuan, dan lingkungan pekerjaan. Motivasi adalah sesuatu yang tidak dapat diukur dan tidak kasat mata.  
            Motivasi bukan hanya satu-satunya faktor yang mempengaruhi tingkat prestasi seseorang. Dua faktor lainnya yang telibat adalah kemampuan individu dan pemahaman tentang perilaku yang diperlakuakan untuk mencapai prestasi yang tinngi disebut persepsi peranan. Motivasi, kemampuan, dan persepsi peranan saling berhubungan. Jadi, bila salah satu faktor rendah, maka tingkat prestasi akan rendah, walaupun faktor-faktor lainnya tinggi.  
Teori Motivasi
1.      Teori Kepuasan
Berhubungan dengan upaya mengidentifikasi apa yang terdapat di dalam diri seseorang atau lingkungan kerja yang mendorong dan mempertahankan perilaku
2.      Teori Proses
Menjelaskan dan menggambarkan proses tentang bagaimana perilaku didorong, diarahkan, diperyahankan dan akhirnya dihentikan.[3]
Hubungan Motivasi dengan Kepemimpinan
            Sekiranya manajer telah memahami bahwa estiap pegawai atau  didalam organisasi memiliki berbagai motif  yang mendorong perilaku dan tindakan mereka, maka langkah nerikutnya yang harus dilakukan dalam l melakukan implementasi rencana dalam fungsi pengarahan adalah apa yang harus dilakukan para manajer sehingga rencana yang telah disusun organisasi dapat direalisasikan. Bagaimana semestinya para manajer mengarahkan dan memotivasi para pegawai menjadi esensi pokok dari kepemimpinan. Kepemimpinan sendiri merupakan bagain dari fungi pengarahan dalam manajemen. Sekiranya fungsi pengarahandalam manajemen  ingin direalisasikan, maka kepemimpinan menjadi salah satu kunci pokok yang harus dipahami. Karena pentingnya faktor kepemimpinan ini, Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995) menempatkan faktor kepemimpinan atau fungsi pengarahan (leading) sebagai salah satu dari fungsi manajemen setelah fumgsi perencanaan dan pengorganisasian.[4]
II.               Perspektif  Kebutuhan, Keseimbangan dan Keadilan, Pengharapan, Penguatan
Perspektif kebutuhan
            Perspektif kebutuhan yaitu mengenai kebutuhan dan kesenjangan akan kebutuhan. Secara lebih spesifik, perspektif kebutuhan terkait dengan pertanyaan, “faktor apakah daam lingkungan organisasi atau perusahaan yang memotivasi orang-orang?”. Sebagian manajer barangkali berpendapat bahwa orang-orang akan termotivasi sekiranya diberi upah yang tinggi, sebagian yang lain mungkin tidak. Sebagian yang lain mungkin lebih melihat dari pola komunikasi antara atasan dan bawahan, dan lain sebagainya.[5]
Terdapat beberapa teori kebutuhan yaitu :
1.      Teori hirarki kebutuhan (hierarchy of needs) dari Abraham Maslow
Menurut Abraham Maslow, semua kebutuhan dapat dibagi dalam 5 kelompok berdasarkan prioritas tuntutannya, yaitu :
a.    Kebutuhan faal
b.    Kebutuhan perasaan aman
c.     Kebutuhan social
d.   Kebutuhan prestise, penghargaan, dan kehormatan
e.    Kebutuhan realisasi diri
Konsep kebutuhan Maslow tersebut mengatakan bahwa bila pada suatu saat semua kebutuhan tersebut ada dan secara minimal saja belum terpuaskan, maka kebutuhan kelompok pertama (faal) akan terasa paling kuat tuntutannya. Baru setelah kelompok faal tersebut terpuaskan secara minimal, akan terasa tuntutan dari kelompok kedua (perasaan aman). Demikian seterusnya sampai kebutuhan-kebutuhan kelompok lainnya. Dengan kata lain, terpuaskannya suatu kebutuhan akan selalu disusul oleh kebutuhan tingkat selanjutnya (tidak pernah terpuaskan).[6]
2.      Teori ERG dari Clayton Alderfer
ERG merupakan sinkatan dari  Existence, Realedness, dan Grouth. Teori ini deperkenalkan oleh Clayton Alderfer. Pada dasarnya Alderfer setuju dengan Maslow bahwa kebutuhan manusia atau individu yang mendorong seseorang untuk termotivasi dalam melakukan sesuatu bersifat hierarkis atau memiliki tingkatan, namun Alderfer memiliki 2 perbedaan dibandingkan dengan Maslow. Perbedaan pertama adalah bahwa Alderfer hanya membagi tingkatan kebutuhan manusia menjadi kebutuhan Existence atau kebutuhan mendasar manusia untuk bertahan hidup (seperti kebutuhan fisik dan keamanan dari Maslow), kebutuhan Relatedness atau kebutuhan melakukan interaksi dengan sesama, kebutuhan Grouth atau kebutuhan untuk menyalurkan kreativitas dan bersiakp produktif. Dapat diaktakan teori kebutuhan erg dari Alderfer ini merupakan versi lain dari tingkatan kebutuhannya Abraham Maslow.[7]
3.      Toeri dua factor (Two-Factor Theory) dari Frederich Herzberg
Teori Heizberg yang menyatakan bahwa ketidakpuasan dan kepuasan muncul dari dua factor yang berbeda:
1.      Factor Hygiene (factor penyebab ketidakpuasan)
2.      Factor yang memotivasi ( factor penyebab kepuasan)[8]
Perspektif Keseimbangan dan Keadilan
Teori Keadilan
Suatu teori motivasi keja yang menekankan peran yang dimainkan oleh keyakinan seseorang akan keadilan dan kejujuran dari penghargaan dan hukuman dalam menentukan prestasi dan kepuasan kerjanya.[9]
Perspektif kesimbangan dan keadilan atau Equity Perspectives mengenai motivasi berangkat dari asumsi dasar bahwa termotivasi tidaknya seseorang dalam organisasi atau lingkungan pekerjaan sangat bergantung pada anggapan apakah dirinya mendapat perlakuan yang adil ataukah tidak, dalam hal pengharapan yang diterimanya. Pada dasarnya keseimbangan dan keadilan ini dapat diukur sebagai perbandingan antara kontribusi pekerjaan dari individu atau job input dengan penghargaan yang diterima oleh individu tersebut atau job reward.  [10]
Perspektif Pengharapan
            Teori pengharapan menyatakan bahwa perilaku kerja karyawan dapat dijelaskan dengan kenyataan : para karyawan menentukan terlebih dahulu apa perilaku mereka yang dapat dijalankan dan nilai yang diperkirakan sebagai hasil-hasil alternative dari perilakunya. Sebagai contoh, bila seorang karyawan mengharapkan bahwa menyelesaikan pekerjaan pada waktunya akan memperoleh pengharapan, maka dia akan dimotivasi untuk memenuhi sasaran tersebut. [11]
Menurut teori ini, motivasi seseorang ditentukan oleh nilai-nilai antisipasi dari semua akibat (positif dan negative) dari aksi yang diperbanyak oleh kekuatan dari pengharapan orang bahwa akibat tersebut akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Victor Vroom merumuskan  dengan :
Force (F) = Valance (V) x Expectancy (E)
            Yang menunjukkan bahwa :
            F = kekuatan motivasi dari seseorang
            V = kekuatan dari pilihan seseorang akan suatu hasil
            E = kemungkinan bahwa suatu aksi tertentu akan menarahan pada hasil yang diharapkan
Valensi mempunyai tiga kondisi nilai yaitu :
1.      Valensi bernilai nol (0) bagi mereka yang tidak memperdulikan pencapaian tujuan
2.      Valensi bernilai positif bagi mereka yang senang mencapai hasil tertentu daripada tidak mendapatkan apa-apa
3.    Valensi negative untuk mereka yang lebih senang tidak menghasilkan sesuatu
Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa seseorang akan bekerja usaha maksimum apabila dirasakan bahwa hasil yang akan dicapai sesuai dengan usahanya, sebaliknya orang akan bekerja dengan usaha yang minimum apabila dirasakan bahwa hasil yang akan dicapai tidak sesuai dengan usahanya.[12]
Perspektif penguatan
Pendekatan pada motivasi berdasarkan “Hukum Pengaruh” ide bahwa tingkah laku dengan konsekuensi positif cenderung untuk diulang, sementara tingkat laku dengan konsekuensi negative cenderung untuk tidak diulang.[13]
Jika para manajer memahami benar tingkat kepentingan dari model pengharapan ini. Maka prinsip dasar dari prespektif penguatan (reinforcement perspective) mengenai motivasi berangkat dari kerangkat pikir B.F. Skinner, seorang pesikolog yang menerangkan bahwa tindakan akan sangat dipengaruhi oleh perlakuan yang diterima akibat perilaku yang dilakukan dimasa lalu.
Simulasi           respon             perlakuan yang diterima          respon selanjutnya
            Kerangka pikir ini bermula dari adanya stimulasi atau faktor pendorong bagi seseorang untuk berbuat. Katakanlah ada tugas yang dibebankan kepada pegawai. Stimilasi ini kemudian ditindaklanjuti melalui respon oleh pegawai dengan bekerja secara cepet, giat, dan tepat sesuai dengan apa yang ditugaskan kepadanya. Jika kemudian pegawai tersebut mendapat perilaku positif sebagai akibat dari respons yang diberikan olehnya, maka respon selanjutnya yang akan ditunjukkan mungkin juga akan positif. Katakanlah jika pegawai tersebut pendapatkan puian dan bonus akibat kinerja yang telah ditunjukkan, maka sangat mungkin respon berikutnya yang akn terjadi adalah pegawai tersebut akn bekerja lebih baik karena dirinya telah mengalami perlakuan positif di masa lalu akibat tindakan positif telah dilakukannya. Tapi jika pegawai tersebut mendapatkan perlakuan negative, katakanlah kinerja baik yang telah ditunjukkan olehnya ternyata tidak mendapatkan penghargaan positif, bahkan mungkin penghargaan yang negative, maka sangat mungkin respon berikutnya pegawai tersebut tudak akan menunjukkan kinerja baik. Dirinya akan berpikir sia-sia saja berkinerja baik tetapi tidak mendapatkan perlakuan yang baik.[14]
III.           Konsep kepemimpinan
             Kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan para pegawai dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka. Sebagaimana didefinisikan oleh Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), kepemimpinan adalah the process of directing ang influencing the ask-ralated activities of group members. Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan. Griffin (2000) membagi pengertian kepemimpinan menjadi 2 konsep, yaitu sebagai proses dan sebagai atribut. Sebagai proses, kepemimpinan difokuskan kepada apa yang dilakukan oleh para pemimpin, yaitu proses dimana para pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memperjelas tujuan organisasi bagi para pegawai, bawahan, atau yang dimpinnya, memotivasi mereka untuk mencapai tujuan tersebut, serta membantu menciptakan suatu budaya produktif dalam organisasi. Adapun dari sisi atribut, kepemimpinan adalah kumpulan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Oleh karena itu, pemimpin dapat didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang alin tanpa menggunakan kekuatan, sehingga orang-orang yang dipimpinnya menerima dirinya sebagai sosok  yang layak memimpin mereka. [15]
Rangkaian Kesatuan Kepemimpinan Tannenbaum dan Schmidt
            Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt adalah diantara para teoritis yang menguraikan beragai faktor yang mempengaruhi pilihan gaya kepemimpinan oleh manajer. Mereka mengemukakan bahwa manajer harus mempertimbangkan tiga kumpulan ”kekuatan” sebelum melakukan pemilihan gaya kepemimpinan, yaitu :
            Kekuatan-kekuatan dalam diri manajer, yang mencakup : system nilai, kepercayaan terhadap bawahan, kecenderungan kepemimpinan sendiri, dan perasaan aman dan tidak aman.
            Kekuatan-kekuatan dalam diri para bawahan meliputi : kebutuhan mereka akan kebebasan, kebutuhan mereka akan peningkatan tanggung jawab, apakah mereka tertarik dalam dan mempunyai keahlian untuk penanganan masalah, dan harapan mereka mengenai keterlibatan dalam pembuatan keputusan.
            Kekuatan-kekuatan dari situasi, mencangkup : tipe organisasi, efektifitas kelompok, desakan waktu, dan sifat masalah itu sendiri.
            Konsep Tannenbaum dan Schmidt ini disajikan sebagai suatu rangkaian kesatuan kepemimpinan (leadership continuum). Pendekatan yang paling efektif sebagai manajer, menurut mereka adalah sedapat mungkin fleksibel, maupun memilih perilaku kepemimpinan yang dibutuhkan dalam waktu dan tempat tertentu.[16]

Gaya Kepemimpinan Ideal
Telah terjadi perdebatan dalam waktu cukup lama untuk mencari jawaban apakah ada gaya kepemimpinan normative atau ideal. Perdebatan ini biasanya terpusat pada gagasan bahwa gaya ideal itu ada, yaitu gaya yang secara aktif melibatkan bawahan dalam penetapan tujuan dengan menggunakan teknik-teknik manajemen partisipasif dan memusatkan perhatian baik terhadap karyawan dan tugas. Gagasan ini didukung oleh beberapa penelitian dalam kepemimpinan yang dilakukan dari tahun 1940 sampai 1950, bahkan sampai tahun 1960-an, oleh McGregor, Likert, Lewis, serta Blake Mouton. Penelitian-penelitian teori motivasi sebelumnya juga mendukung bahwa pendekatan manajemen partisipasif sebagai yang ideal. Banyak para praktisi manajemen merasa konsep-konsep tersebut membuat paningkatan prestasi dan perbaikan sikap.
Dilain pihak, beberapa penelitian membuktikan pula bahwa pendekatan otokratik dibawah berbagai kondisi, pada kenyataannya lebih efektif dibandingkan pendekatan lain. Jadi, pengalaman-pengalaman kepemimpinan mengungkapkan bahwa dalam berbagai situasi pendekatan otokratik mungkin yang paling baik, dalam berbagai situasi lain pendekatan  partisipasif yang lebih efektif; atau pendekatan orientasi-tugas dibandingkan pendekatan orientasi-karyawan dari sisi lain. Kesimpulan yang dapat dibuat, bahwa kepemimpinan adalah kompleks dan gaya kepemimpinan yang paling tepat tergantung pada beberapa variabel yang saling berhubungan.[17]
IV.           Pendekatan kepemimpinan, sifat dan perilaku kepemimpinan
A.    Pendekatan kepemimpinan
Penelitian-penelitian dan teori-teori kepemimpinan dapat diklasifikasikan sebagai pendekatan-pendekatan kesifatan, perilaku, dan situasional (contingency) dalam studi kepemimpinan.
Pendekatan pertama memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat (traits) yang tampak. Pendekatan kedua bermaksud mengidentifikasikan perilaku-perilaku (behaviors) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif. Kedua pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa seorang individu yang memiliki sifat-sifat terentu atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apapun dan dimana dia berada.
Pemikiran dan penelitian sekarang mendasar pada pendekatan ketiga, yaitu pandangan situasional tentang kepemimpinan. Pandangan ini mengangggap bahwa kondisi yang menentukan efektifitas kepemimpinan bervariasi dengan situasi tugas-tugas yang dilakukan, keterampilan dan pengharapan bawahan, lingkungan organisasi,pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan, dan sebagainya. Pandangan ini telah menimbulkan pendekatan “contingency” pada kepemimpinan, yang bermaksud untuk menetapkan factor-faktor situasional yang menentukan seberapa besar efektifitas situasi gaya kepemimpinan tertentu.[18]
B.     Pendekatan sifat kepemimpinan
Para teoritis kesifatan adalah kelompok pertama yang bermaksud menjelaskan tentang aspek kepemimpinan. Mereka percaya bahwa para pemimpin memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan mereka dapat memimpin para pengikutnya. Daftar sifat-sifat ini dapat menjadi sangat panjang , tetapi cenderung mencakup energy, pandangan, pengetahuan, dan kecerdasa, imajinasi, kepercayaan diri, integritas, kepandaian berbicara, pengandalian dan keseimbangan mental maupun emosional, bentuk phisik, pergaulan social dan persahabatan, dorongan, antusiasme, berani, dan sebagainya.
Penelitian Awal Tentang Sifat-sifat Kepemimpinan
Usaha sistematik pertama yang dilakukan oleh para psikolog dan para peneliti lainnya untuk memahami kepemimpinan adalah mengidentifikasikan sifat-sifat emimpin. Sebagian besar penelitian-penelitian awal tentang kepemimpinan ini bermaksu untuk 1) membandingkan sifat-sifat orang yang menjadi pemimpin dengan sifat-sifat yang menjadi pengikut, dan 2) mengidentifikasikan cirri-ciri dan sifat-sifat yang dimiliki oleh para pemimpin efektif. Berbagai studi pembandingan sifat-sifat pemimpin dan bukan pemimpin sering menemukan bahwa pemimpin cenderung lebih tinggi, mempunyai tingkat kecerdasan lebih tinggi, lebih ramah, dan lebih percaya diri dari pada yang lain dan mempunyai kebutuhan akan kekuasaan lebih besar. Tetapi kombinasi sifat-sifat tertetu yang akan membedakan antara pemimpin atau calon pemimpin dari pengikut, belum pernah ditemukan. Sehingga timbul anggapan para peneliti sifat-sifat kepemimpinan bahwa pemimpin dilahirkan, bukan dibuat, atau seseorang itu dilahirkan membawa atau tidak membawa sifat-sifat yang diperlukan bagi seorang pemimpin.
Seorang peneliti, Edwin Ghiselli, dalam penelitian ilmiahnya telah menunjukkan sifat-sifat tertentu yang tampaknya penting untuk kepemimpinan efektif. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Kemampuan dalam kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability) atau pelaksanaan fungsi-fungsi dasar manajemen, terutama pengarahan dan pengawasan pekerjaan orang lain.
2.      Kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggung jawab dan keinginan sukses
3.      Kecerdasan, mencakup kebijakan, pemikiran kreatif dan daya pikir
4.      Ketegasan (decisiveness) atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan masalah-masalah denga cakap dan tepat
5.      Kepercayaan diri, atau pandangan terhadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi masalah
6.      Inisiatif atau kemampuan untuk bertindak tidak tergantung, mengembangkan serangkaian kegiatan dan menemukan cara-cara baru atau inovasi.
Sedangkan Keith Davis mengikhtisarkan 4 ciri  sifat utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi : 
kecerdasan, kedewasaan dan keluasan hubungan social, motivasi diri dan dorongan berprestasi , dan sikap-sikap hubungan manusiawi.[19] 
Keterbatasan Pendekatan Kesifatan
Ada banyak ketrebatasan dalam pendekatan yang melihat sifat-sifat kepemimpinan. Sebagai contoh, telah banyak yang tahu tokoh-tokoh seperti Napoleon, Alexander the Great, Abraham Lincoln,Sukarno, Mahatma Gandhi, Mao tse-tung, Adolf Hitler, Winston Churchill, Suharto dan sebagainya, yang dalam berbagai hal berbeda satu dengan yang lain. Namun, tidak tampak sifat-sifat kepemimpinan yang ditemukan secara umum pada semua tokoh-tokoh tersebut. Dalam kenyataannya, banyak dari mereka, seperti Hitler dan Lincoln, mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Ada juga berbagai kasus dimana seorang pemimpin sukses dalam suatu situasi tetapi tidak dalam situasi lain. Akhirnya, walaupun sifat yang dikemukakan para peneliti dapat menjadi yang diinginkan ada dalam diri pemimpin, tetapi tidak satu pun sifat yang secara absolute esensial. [20]
C.    Pendekatan Perilaku Kepemimpinan
Pendekatan perilaku kepemimpinan lebih berfokus pada menentukan apa yang dilakukan oleh para pemimpin efektif, bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaiman mereka berkomunikasi dengan dan memotivasi bawahan mereka,bagaiman mereka menjalankan tugas, dan sebagainya. Tidak seperti sifat-sifat perilaku dapat dipelajari dan dikembangkan. Sehingga individu dapat dilatih dengan perilaku-perilaku kepemimpinan yang tepat agar mampu memimpin lebih efektif. Pendekatan prilaku memusatkan perhatiannya pada dua aspek yaitu fungsi-fungsi dan gaya-gaya kepemimpinan. [21]
Fungsi-fungsi Kepemimpinan
Aspek pertama pendekatan perilaku kepemimpinan menekankan pada fungsi-fungsi yang dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan secara efektif, seseorang harus melaksanakan dua fungsi utama : 1)fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau pemecahan masalah, dan 2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok (group-maintenance) atau social. Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian, informasi dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar, persetujuan dengan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat, dan sebagainya.
Aspek kedua  tentang perilaku kepemimpinan adalah memusatkan pada gaya pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua gaya kepemimpinan yaitu gaya dengan orientasi tugas (task-oriented) dan gaya dengan orientasi karyawan (employee-oriented).[22]
V.             Teori X dan Teori Y
Strategi kepemimpinan efektif yang menggunakan manajemen pertisipatif dikemukakan oleh Douglas McGregor, dalam buku klasiknya, The Human Side Of Enterprise. Buku ini mempunyai dampak besar pada para manajer, sehingga walaupun edisi pertamanya telah dipublikasikan lebih dari dua decade, tetapi konsep-konsepnya masih dipelajari dalam program-program pengembangan manajemen saat ini. Konsep McGregor yang paling terkenal adalah bahwa strategi kepemimpinan dipengaruhi anggapan-anggapan seorang pemimpin tentang sifat asar manusia. Sebagai hasil pengalamannya menjadi konsultan McGregor menyimpulkan dua kumpulan anggapan yang saling berlawanan yang dibuatboleh para manajer dalam industri.         
Anggapan-anggapan Teori X
1.      Rata-rata pembawaan manusia adalah malas atau tidak menyukai pekerjaan dan akan menghindari bila mungkin.
2.      Karena karakteristik manusia tersebut, orang harus dipaksa, di awasi, diarahkan, atau diancam dengan hukuman agar merekan menjalankan tugas untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.
3.      Rata-rata manusia lebih menyukai diarahkan, ingin menghindari tanggung jawab, mempunyai ambisi relative kecil, dan menginginkan keamanan atau jaminan hidup diatas segalanya.
Anggapan-anggapan Teori Y
1.      Penggunaan uasaha phisik dan mental dalam bekerja adalah kodrat manusia, seperti bermain atau istirahat.
2.      Pengawasan dan ancaman hukuman eksternal bukanlah satu-satunya cara untuk mengarahkan usaha pencapaian tujuan organisasi. Orang akan melakukan pengendalian diri dan pengarahan diri untuk mencapai tujuan yang yang telah disetujui.
3.      Keterikatan pada tujuan merupakan fungsi dari penghargaan yang berhubungan dengan pestasi mereka.
4.      Rata-rata manusia dalam kondisi yang layak, belajar tidak hanya untuk menerima tetapi mencari tanggungjawab.
5.      Ada kapasitas besar untuk melakukan imajinasi, kecerdikan dan kreatifitas dalam penyelesaian masalah-masalah organisasi yang secara luas tersebar pada seluruh karyawan.
6.      Potensi intelektual rata-rata manusia hanya digunakan sebagian saja dalam kondisi kehidupan industry modern.
Seorang pemimpin yang menganut anggapan-anggapan teori X akan cenderung menyukai gaya kepemimpina otokratik. Sebaliknya, pemimpin yang mengikuti teori Y akan lebih menyukai gaya kepemimpinan partisipasif atau demokratis. [23]
VI.           Pendekatan Situasional-Teori Contingency
Pendekatan kesifatan dan perilaku belum sepenuhnya dapat menjelaskan kepemimpinan. Disamping itu, sebagian besar penelitiaan masa kini menyimpulkan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer  dalam seluruh kondisi. Pendekatan situasional-contigency menggambarkan bahwa gaya yang digunakan adalah bergantung pada factor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas, organisasi dan variable-variabel lainnya. Teori-teori situasional yang terkenal adalah : rangkaian kesatuan kepemimpinan dari Tannembaum dan Schmidt, teori “contingency” dari Fiedler, dan teori siklus-kehidupan dari Hersey dan Blanchard.
Factor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kepemimpinan
Ada berbagai faktor yang mempengaruhi situasi kepemimpinan. Mary Parker Follett, yang mengembangkan hukum situasi, mengatakan bahwa ada tiga variabel kritis yang mempengaruhi gaya pemimpin, yaitu: pemimpin, pengikut atau bawahan, dan situasi. Ketiganya saling berhubungan dan berinteraksi, seperti  ditunjukkan gambar dibawah ini. Follet uga menyatakan bahwa para pemimpin seharusnya berorientasi pada kelompok dan bukan berorientasi pada kekuasaan.

Berbagai penelitian juga menunjukkan kompleksitas kepemimpinan dimana ada lebih banyak variabel yang saling berhubungan terlibat. Variabel-variabe tersebut dapat diklasifikasikan sebagai faktor-faktor makro dan faktor-faktor mikro.
            Faktor makro ;
1.      Sosial dan kebudayaan
2.      Industry
3.      Kondisi perekonomian
4.      Organisasional
Faktor mikro :
1.      Pengharapan dan perilaku atasan
2.      Tingkatan organisasi dan besarnya kelompok
3.      Perilaku kepemimpinan
4.      Kepribadian dan latar belakang pemimpin
5.      Pengharapan dan perilaku bawahan [24]
Teori Contingency dari Fledler
Suatu teori kepemimpinan yang kompleks dan menarik adalah contingency model of leadership effectiveness dari Fred Fiedler. Pada dasarnya, teori ini menyatakan bahwa efektivitas suatu kelompok atau organisasi tergantung pada interaksi antara kepribadian pemimpin dan situasi. Situasi dirumuskan dengan dua karakter yaitu : derajat situasi dimana pemimpin menguasai, mengendalikan dan mempengaruhi situasi, dan derajat situasi yang menghadapkan manajer dengan ketidakpastian. Fiedler mengidentifikasikan ketiga unsur dalam situasi kerja ini untuk membantu menentukan gaya kepemimpinan mana yang akan efektif yaitu hubungan pimpinan anggota, struktur tugas, dan posisi kekuasaaan pemimpin yang didapatkan dari wewenang situasional lainnya, seperti motivasi dan nilai-nilai bawahan, pengalaman pemimpin dan anggota kelompok.
Situasi dinilai dalam istilah situasi yang menguntungkan atau yidak menguntungkan. Situasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan apabila dikombinasikan dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas akan efektif. Bila siyuasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya moderat, tipe pemimpin hubungan manusiawi atau toleran dan kunak akan sangat efektif. Akan memperjelas bagaimana gaya kepemimpinan efektif bervariasi dengan situasi.[25]

Kesimpulan :
Motivasi (motivation)  adalah berbagai factor yang menyebabkan, menyalurkan, dan memepertahankan tingkah laku individual dan mendorong perbuatan kearah suatu tujuan tertentu.sedangkan  Kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan para pegawai dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka.
Pemimpin tidak hanya memberikan pengarahan kepada bawahannnya saja. Namun pemimpin juga harus bisa memberikan motivasi atau dukungan kepada bawahannya.Tidak dapat disangkal lagi bahwa pengaruh motivasi yang diberikan pemimpin kepada bawahannya juga sangat penting untuk meningkatkan kinerja bawahannya. Karena dengan terciptanya hubungan yang baik antara pemimpin dan bawahan akan memudahkan untuk mencapai tujuan perusahaan.
 Gaya kepemimpinan yang efektif juga dapat menentukan kinerja karyawan. Menurut Edwin Ghiselli, dalam penelitian ilmiahnya telah menunjukkan sifat-sifat tertentu yang tampaknya penting untuk kepemimpinan efektif. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Kemampuan dalam kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability) atau pelaksanaan fungsi-fungsi dasar manajemen, terutama pengarahan dan pengawasan pekerjaan orang lain.
2.      Kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggung jawab dan keinginan sukses
3.      Kecerdasan, mencakup kebijakan, pemikiran kreatif dan daya pikir
4.      Ketegasan (decisiveness) atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan masalah-masalah dengan cakap dan tepat
5.      Kepercayaan diri, atau pandangan terhadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi masalah
6.      Inisiatif atau emampuan untuk bertindak tidak tergantung, mengembangkan serangkaian kegiatan dan menemukan cara-cara baru atau inovasi.
Daftar Pustaka   
1.      T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 2003), hlm 262-263, 293-309.
2.      Yohanes Yahya, Pengantar Manajemen, (Grahana Ilmu), hlm 105-107
3.      Agus Sabardi, Manajemen Pengantar, (UPP AMP YKPN), hlm 133, 142, 251
4.      Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 235- 255


[1] T  Hani Handoko, manajemen, BPFE, hlm. 251
[2] Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 235-236
[3] Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen, Graha Ilmu
[4] Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 254
[5] Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 240
[6] Agus Sabardi, Manajemen Pengantar, UPP, AMP, YKPN, hlm 133
[7] Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 242
[8] Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen, Graha Ilmu
[9] Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen, Graha Ilmu
[10] Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 248
[11] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 263
[12] Agus Sabardi, Manajemen Pengantar, UPP, AMP, YKPN, hlm 142
[13] Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen, Graha Ilmu, hlm 107
[14] Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 251-252
[15] Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 255
[16] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 309
[17] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 306
[18] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 295
[19] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 296-297
[20] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 297-298
[21] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 298
[22] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 299
[23] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 300
[24] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 307-308
[25] T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 ) hlm 311

1 komentar: