MOTIVASI
DAN KEPEMIMPINAN
Pendahuluan
Latar
Belakang Masalah
Semakin berkembangnya zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) tingkat sumber daya manusia yang dibutuhkan juga
meningkat. Perusahaan-perusahaan bersaing untuk mencari tenaga kerja yang
berkompeten, karena tenaga kerja yang berkompeten merupakan aset penting sebuah
perusahaan untuk mencapai tujuannya. Selain tenaga kerja yang berkompeten, gaya
kepemimipinan seorang pemimpin juga mempengaruhi kesuksesan perusahaan
tersebut. Pada dasarnya setiap pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang
berbeda-beda. Para peneliti telah mengidentifikasikan dua gaya kepemimpinan
yaitu : gaya dengan orientasi tugas (task-oriented) dan gaya orientasi karyawan
(employee-oriented). Manajer berorinentasi
tugas mengarahkan dan mengawasi bawahan secara tertutup untuk menjamin
tugas dilaksanakan sesuai yang diinginkan. Sedangkan manajer berorientasi
karyawan mencoba untuk lebih memotivasi bawahan dibandingkan mengawasi mereka.
Kepemimpin berhubungan sangat erat dengan motivasi. Karena keberhasilan
perusahaan dalam mencapai tujuannya adalah bagaimana seorang pemimpin
menggerakkan pegawainya, dan memberikan motivasi kepada pegawai untuk mencapai
tujuan perusahaan.
Peranan pemimpin sangat mempengaruhi tingkat kinerja pegawai.
Pemimpin yang dapat menciptakan hubungan yang harmonis dengan bawahannya dapat
meningkatkan kinerja bawahannya. Sedangkan pemimpin yang tidak memiliki
hubungan yang harmonis dengan bawahannya menyebabkan rendahnya kinerja karyawan
karena kurangnya motivasi yang diberikan pemimpin pada bawahannya.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
motivasi dan kepemimpinan ?
2.
Bagaimana
pengaruh motivasi yang diberikan pemimpin pada karyawannya ?
3.
Bagaimana gaya
kepemimpinan yang efektif ?
Tujuan
1.
Menjelaskan
pengertian manajemen
2.
Mendeskripsikan
perspektif kebutuhan, keseimbangan
dan keadilan, pengharapan, dan penguatan
3.
Memaparkan
konsep kepemimpinan
4.
Menjelaskan
pendekatan kepemimpinan, sifat, dan perilaku kepemimpinan
5.
Menjelaskan teori
X dan teori Y
Menjelaskan pendekatan situasional- tori contingency
Pembahasan
I.
Pengertian
Motivasi
[1]Motivasi
(motivation) adalah berbagai factor yang
menyebabkan, menyalurkan, dan memepertahankan tingkah laku individual. Motivasi
juga dapat diartikan sebagai kebutuhan yang mendorong perbuatan ke arah suatu
tujuan tertentu.Secara hakiki manusia mempunyai sejumlah kebutuhan, yang pada
saat tertentu menuntut pemuasan. Hal-hal yang dapat memberikan pemuasan pada
kebutuhan tertentu, menjadi tujuan kebutuhan tersebut. Kebutuhan dan tujuan itu
menimbulkan dan mendorong adanya usaha, yang terlihat sebagai tingkah laku
(perbuatan).
[2]Menurut
French dan Raven, sebagaimana dikutip Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995),
motivasi is the set of forces that cause people to behave in certain ways.Perilaku
yang diharapkan untuk ditunjukkan oleh tenaga kerja untuk perusahaan adalah
kinerja terbaik. Kinerja terbaik menurut Griffin (2000) ditentikan oleh 3
faktor, yaitu : motivasi, kemampuan, dan lingkungan pekerjaan. Motivasi adalah
sesuatu yang tidak dapat diukur dan tidak kasat mata.
Motivasi bukan hanya satu-satunya faktor yang
mempengaruhi tingkat prestasi seseorang. Dua faktor lainnya yang telibat adalah
kemampuan individu dan pemahaman tentang perilaku yang diperlakuakan untuk
mencapai prestasi yang tinngi disebut persepsi peranan. Motivasi, kemampuan,
dan persepsi peranan saling berhubungan. Jadi, bila salah satu faktor rendah,
maka tingkat prestasi akan rendah, walaupun faktor-faktor lainnya tinggi.
Teori Motivasi
1.
Teori Kepuasan
Berhubungan dengan upaya
mengidentifikasi apa yang terdapat di dalam diri seseorang atau lingkungan
kerja yang mendorong dan mempertahankan perilaku
2.
Teori Proses
Menjelaskan dan menggambarkan proses tentang
bagaimana perilaku didorong, diarahkan, diperyahankan dan akhirnya dihentikan.[3]
Hubungan
Motivasi dengan Kepemimpinan
Sekiranya manajer telah memahami bahwa estiap pegawai
atau didalam organisasi memiliki
berbagai motif yang mendorong perilaku
dan tindakan mereka, maka langkah nerikutnya yang harus dilakukan dalam l
melakukan implementasi rencana dalam fungsi pengarahan adalah apa yang harus
dilakukan para manajer sehingga rencana yang telah disusun organisasi dapat
direalisasikan. Bagaimana semestinya para manajer mengarahkan dan memotivasi
para pegawai menjadi esensi pokok dari kepemimpinan. Kepemimpinan sendiri
merupakan bagain dari fungi pengarahan dalam manajemen. Sekiranya fungsi
pengarahandalam manajemen ingin
direalisasikan, maka kepemimpinan menjadi salah satu kunci pokok yang harus
dipahami. Karena pentingnya faktor kepemimpinan ini, Stoner, Freeman, dan
Gilbert (1995) menempatkan faktor kepemimpinan atau fungsi pengarahan (leading)
sebagai salah satu dari fungsi manajemen setelah fumgsi perencanaan dan
pengorganisasian.[4]
II.
Perspektif Kebutuhan, Keseimbangan dan Keadilan, Pengharapan,
Penguatan
Perspektif
kebutuhan
Perspektif kebutuhan yaitu mengenai kebutuhan dan
kesenjangan akan kebutuhan. Secara lebih spesifik, perspektif kebutuhan terkait
dengan pertanyaan, “faktor apakah daam lingkungan organisasi atau perusahaan
yang memotivasi orang-orang?”. Sebagian manajer barangkali berpendapat bahwa
orang-orang akan termotivasi sekiranya diberi upah yang tinggi, sebagian yang
lain mungkin tidak. Sebagian yang lain mungkin lebih melihat dari pola
komunikasi antara atasan dan bawahan, dan lain sebagainya.[5]
Terdapat beberapa teori
kebutuhan yaitu :
1.
Teori hirarki
kebutuhan (hierarchy of needs) dari Abraham Maslow
Menurut Abraham Maslow,
semua kebutuhan dapat dibagi dalam 5 kelompok berdasarkan prioritas
tuntutannya, yaitu :
a.
Kebutuhan faal
b.
Kebutuhan
perasaan aman
c.
Kebutuhan social
d.
Kebutuhan
prestise, penghargaan, dan kehormatan
e.
Kebutuhan
realisasi diri
Konsep
kebutuhan Maslow tersebut mengatakan bahwa bila pada suatu saat semua kebutuhan
tersebut ada dan secara minimal saja belum terpuaskan, maka kebutuhan kelompok
pertama (faal) akan terasa paling kuat tuntutannya. Baru setelah kelompok faal
tersebut terpuaskan secara minimal, akan terasa tuntutan dari kelompok kedua (perasaan
aman). Demikian seterusnya sampai kebutuhan-kebutuhan kelompok lainnya. Dengan
kata lain, terpuaskannya suatu kebutuhan akan selalu disusul oleh kebutuhan
tingkat selanjutnya (tidak pernah terpuaskan).[6]
2.
Teori ERG dari
Clayton Alderfer
ERG
merupakan sinkatan dari Existence,
Realedness, dan Grouth. Teori ini deperkenalkan oleh Clayton Alderfer. Pada
dasarnya Alderfer setuju dengan Maslow bahwa kebutuhan manusia atau individu
yang mendorong seseorang untuk termotivasi dalam melakukan sesuatu bersifat
hierarkis atau memiliki tingkatan, namun Alderfer memiliki 2 perbedaan dibandingkan
dengan Maslow. Perbedaan pertama adalah bahwa Alderfer hanya membagi tingkatan
kebutuhan manusia menjadi kebutuhan Existence atau kebutuhan mendasar manusia
untuk bertahan hidup (seperti kebutuhan fisik dan keamanan dari Maslow),
kebutuhan Relatedness atau kebutuhan melakukan interaksi dengan sesama,
kebutuhan Grouth atau kebutuhan untuk menyalurkan kreativitas dan bersiakp
produktif. Dapat diaktakan teori kebutuhan erg dari Alderfer ini merupakan
versi lain dari tingkatan kebutuhannya Abraham Maslow.[7]
3.
Toeri dua factor
(Two-Factor Theory) dari Frederich Herzberg
Teori
Heizberg yang menyatakan bahwa ketidakpuasan dan kepuasan muncul dari dua
factor yang berbeda:
1.
Factor Hygiene
(factor penyebab ketidakpuasan)
2.
Factor yang
memotivasi ( factor penyebab kepuasan)[8]
Perspektif
Keseimbangan dan Keadilan
Teori
Keadilan
Suatu
teori motivasi keja yang menekankan peran yang dimainkan oleh keyakinan
seseorang akan keadilan dan kejujuran dari penghargaan dan hukuman dalam
menentukan prestasi dan kepuasan kerjanya.[9]
Perspektif
kesimbangan dan keadilan atau Equity Perspectives mengenai motivasi berangkat
dari asumsi dasar bahwa termotivasi tidaknya seseorang dalam organisasi atau
lingkungan pekerjaan sangat bergantung pada anggapan apakah dirinya mendapat
perlakuan yang adil ataukah tidak, dalam hal pengharapan yang diterimanya. Pada
dasarnya keseimbangan dan keadilan ini dapat diukur sebagai perbandingan antara
kontribusi pekerjaan dari individu atau job input dengan penghargaan yang
diterima oleh individu tersebut atau job reward. [10]
Perspektif
Pengharapan
Teori
pengharapan menyatakan bahwa perilaku kerja karyawan dapat dijelaskan dengan
kenyataan : para karyawan menentukan terlebih dahulu apa perilaku mereka yang
dapat dijalankan dan nilai yang diperkirakan sebagai hasil-hasil alternative
dari perilakunya. Sebagai contoh, bila seorang karyawan mengharapkan bahwa
menyelesaikan pekerjaan pada waktunya akan memperoleh pengharapan, maka dia
akan dimotivasi untuk memenuhi sasaran tersebut. [11]
Menurut
teori ini, motivasi seseorang ditentukan oleh nilai-nilai antisipasi dari semua
akibat (positif dan negative) dari aksi yang diperbanyak oleh kekuatan dari
pengharapan orang bahwa akibat tersebut akan mencapai tujuan yang diharapkan.
Victor
Vroom merumuskan dengan :
Force (F) = Valance (V) x
Expectancy (E)
Yang menunjukkan bahwa :
F = kekuatan motivasi dari seseorang
V = kekuatan dari pilihan seseorang akan suatu hasil
E = kemungkinan bahwa suatu aksi tertentu akan menarahan
pada hasil yang diharapkan
Valensi mempunyai tiga
kondisi nilai yaitu :
1.
Valensi bernilai
nol (0) bagi mereka yang tidak memperdulikan pencapaian tujuan
2.
Valensi bernilai
positif bagi mereka yang senang mencapai hasil tertentu daripada tidak
mendapatkan apa-apa
3. Valensi
negative untuk mereka yang lebih senang tidak menghasilkan sesuatu
Dari
teori ini dapat disimpulkan bahwa seseorang akan bekerja usaha maksimum apabila
dirasakan bahwa hasil yang akan dicapai sesuai dengan usahanya, sebaliknya
orang akan bekerja dengan usaha yang minimum apabila dirasakan bahwa hasil yang
akan dicapai tidak sesuai dengan usahanya.[12]
Perspektif
penguatan
Pendekatan
pada motivasi berdasarkan “Hukum Pengaruh” ide bahwa tingkah laku dengan
konsekuensi positif cenderung untuk diulang, sementara tingkat laku dengan
konsekuensi negative cenderung untuk tidak diulang.[13]
Jika
para manajer memahami benar tingkat kepentingan dari model pengharapan ini.
Maka prinsip dasar dari prespektif penguatan (reinforcement perspective)
mengenai motivasi berangkat dari kerangkat pikir B.F. Skinner, seorang
pesikolog yang menerangkan bahwa tindakan akan sangat dipengaruhi oleh perlakuan
yang diterima akibat perilaku yang dilakukan dimasa lalu.
Simulasi respon perlakuan yang diterima respon
selanjutnya
Kerangka pikir ini bermula dari adanya stimulasi atau
faktor pendorong bagi seseorang untuk berbuat. Katakanlah ada tugas yang
dibebankan kepada pegawai. Stimilasi ini kemudian ditindaklanjuti melalui
respon oleh pegawai dengan bekerja secara cepet, giat, dan tepat sesuai dengan
apa yang ditugaskan kepadanya. Jika kemudian pegawai tersebut mendapat perilaku
positif sebagai akibat dari respons yang diberikan olehnya, maka respon
selanjutnya yang akan ditunjukkan mungkin juga akan positif. Katakanlah jika
pegawai tersebut pendapatkan puian dan bonus akibat kinerja yang telah
ditunjukkan, maka sangat mungkin respon berikutnya yang akn terjadi adalah
pegawai tersebut akn bekerja lebih baik karena dirinya telah mengalami
perlakuan positif di masa lalu akibat tindakan positif telah dilakukannya. Tapi
jika pegawai tersebut mendapatkan perlakuan negative, katakanlah kinerja baik
yang telah ditunjukkan olehnya ternyata tidak mendapatkan penghargaan positif,
bahkan mungkin penghargaan yang negative, maka sangat mungkin respon berikutnya
pegawai tersebut tudak akan menunjukkan kinerja baik. Dirinya akan berpikir
sia-sia saja berkinerja baik tetapi tidak mendapatkan perlakuan yang baik.[14]
III.
Konsep
kepemimpinan
Kepemimpinan dapat
diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan para pegawai dalam
melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka. Sebagaimana didefinisikan
oleh Stoner, Freeman, dan Gilbert (1995), kepemimpinan adalah the process of
directing ang influencing the ask-ralated activities of group members.
Kepemimpinan adalah proses dalam mengarahkan dan mempengaruhi para anggota dalam
hal berbagai aktivitas yang harus dilakukan. Griffin (2000) membagi pengertian
kepemimpinan menjadi 2 konsep, yaitu sebagai proses dan sebagai atribut.
Sebagai proses, kepemimpinan difokuskan kepada apa yang dilakukan oleh para
pemimpin, yaitu proses dimana para pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk
memperjelas tujuan organisasi bagi para pegawai, bawahan, atau yang dimpinnya,
memotivasi mereka untuk mencapai tujuan tersebut, serta membantu menciptakan
suatu budaya produktif dalam organisasi. Adapun dari sisi atribut, kepemimpinan
adalah kumpulan karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Oleh
karena itu, pemimpin dapat didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang alin tanpa menggunakan kekuatan,
sehingga orang-orang yang dipimpinnya menerima dirinya sebagai sosok yang layak memimpin mereka. [15]
Rangkaian
Kesatuan Kepemimpinan Tannenbaum dan Schmidt
Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt adalah diantara
para teoritis yang menguraikan beragai faktor yang mempengaruhi pilihan gaya
kepemimpinan oleh manajer. Mereka mengemukakan bahwa manajer harus
mempertimbangkan tiga kumpulan ”kekuatan” sebelum melakukan pemilihan gaya
kepemimpinan, yaitu :
Kekuatan-kekuatan dalam diri manajer, yang mencakup :
system nilai, kepercayaan terhadap bawahan, kecenderungan kepemimpinan sendiri,
dan perasaan aman dan tidak aman.
Kekuatan-kekuatan dalam diri para bawahan meliputi :
kebutuhan mereka akan kebebasan, kebutuhan mereka akan peningkatan tanggung
jawab, apakah mereka tertarik dalam dan mempunyai keahlian untuk penanganan
masalah, dan harapan mereka mengenai keterlibatan dalam pembuatan keputusan.
Kekuatan-kekuatan dari situasi, mencangkup : tipe
organisasi, efektifitas kelompok, desakan waktu, dan sifat masalah itu sendiri.
Konsep Tannenbaum dan Schmidt ini disajikan sebagai suatu
rangkaian kesatuan kepemimpinan (leadership continuum). Pendekatan yang paling
efektif sebagai manajer, menurut mereka adalah sedapat mungkin fleksibel,
maupun memilih perilaku kepemimpinan yang dibutuhkan dalam waktu dan tempat
tertentu.[16]
Gaya
Kepemimpinan Ideal
Telah
terjadi perdebatan dalam waktu cukup lama untuk mencari jawaban apakah ada gaya
kepemimpinan normative atau ideal. Perdebatan ini biasanya terpusat pada
gagasan bahwa gaya ideal itu ada, yaitu gaya yang secara aktif melibatkan
bawahan dalam penetapan tujuan dengan menggunakan teknik-teknik manajemen
partisipasif dan memusatkan perhatian baik terhadap karyawan dan tugas. Gagasan
ini didukung oleh beberapa penelitian dalam kepemimpinan yang dilakukan dari
tahun 1940 sampai 1950, bahkan sampai tahun 1960-an, oleh McGregor, Likert,
Lewis, serta Blake Mouton. Penelitian-penelitian teori motivasi sebelumnya juga
mendukung bahwa pendekatan manajemen partisipasif sebagai yang ideal. Banyak
para praktisi manajemen merasa konsep-konsep tersebut membuat paningkatan
prestasi dan perbaikan sikap.
Dilain
pihak, beberapa penelitian membuktikan pula bahwa pendekatan otokratik dibawah
berbagai kondisi, pada kenyataannya lebih efektif dibandingkan pendekatan lain.
Jadi, pengalaman-pengalaman kepemimpinan mengungkapkan bahwa dalam berbagai
situasi pendekatan otokratik mungkin yang paling baik, dalam berbagai situasi
lain pendekatan partisipasif yang lebih
efektif; atau pendekatan orientasi-tugas dibandingkan pendekatan orientasi-karyawan
dari sisi lain. Kesimpulan yang dapat dibuat, bahwa kepemimpinan adalah
kompleks dan gaya kepemimpinan yang paling tepat tergantung pada beberapa
variabel yang saling berhubungan.[17]
IV.
Pendekatan
kepemimpinan, sifat dan perilaku kepemimpinan
A.
Pendekatan
kepemimpinan
Penelitian-penelitian
dan teori-teori kepemimpinan dapat diklasifikasikan sebagai
pendekatan-pendekatan kesifatan, perilaku, dan situasional (contingency) dalam
studi kepemimpinan.
Pendekatan
pertama memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat (traits)
yang tampak. Pendekatan kedua bermaksud mengidentifikasikan perilaku-perilaku
(behaviors) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif. Kedua
pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa seorang individu yang memiliki
sifat-sifat terentu atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan muncul
sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apapun dan dimana dia berada.
Pemikiran
dan penelitian sekarang mendasar pada pendekatan ketiga, yaitu pandangan
situasional tentang kepemimpinan. Pandangan ini mengangggap bahwa kondisi yang
menentukan efektifitas kepemimpinan bervariasi dengan situasi tugas-tugas yang
dilakukan, keterampilan dan pengharapan bawahan, lingkungan
organisasi,pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan, dan sebagainya. Pandangan
ini telah menimbulkan pendekatan “contingency” pada kepemimpinan, yang
bermaksud untuk menetapkan factor-faktor situasional yang menentukan seberapa
besar efektifitas situasi gaya kepemimpinan tertentu.[18]
B.
Pendekatan
sifat kepemimpinan
Para
teoritis kesifatan adalah kelompok pertama yang bermaksud menjelaskan tentang
aspek kepemimpinan. Mereka percaya bahwa para pemimpin memiliki ciri-ciri atau
sifat-sifat tertentu yang menyebabkan mereka dapat memimpin para pengikutnya.
Daftar sifat-sifat ini dapat menjadi sangat panjang , tetapi cenderung mencakup
energy, pandangan, pengetahuan, dan kecerdasa, imajinasi, kepercayaan diri,
integritas, kepandaian berbicara, pengandalian dan keseimbangan mental maupun
emosional, bentuk phisik, pergaulan social dan persahabatan, dorongan,
antusiasme, berani, dan sebagainya.
Penelitian
Awal Tentang Sifat-sifat Kepemimpinan
Usaha
sistematik pertama yang dilakukan oleh para psikolog dan para peneliti lainnya
untuk memahami kepemimpinan adalah mengidentifikasikan sifat-sifat emimpin.
Sebagian besar penelitian-penelitian awal tentang kepemimpinan ini bermaksu
untuk 1) membandingkan sifat-sifat orang yang menjadi pemimpin dengan
sifat-sifat yang menjadi pengikut, dan 2) mengidentifikasikan cirri-ciri dan
sifat-sifat yang dimiliki oleh para pemimpin efektif. Berbagai studi
pembandingan sifat-sifat pemimpin dan bukan pemimpin sering menemukan bahwa
pemimpin cenderung lebih tinggi, mempunyai tingkat kecerdasan lebih tinggi,
lebih ramah, dan lebih percaya diri dari pada yang lain dan mempunyai kebutuhan
akan kekuasaan lebih besar. Tetapi kombinasi sifat-sifat tertetu yang akan
membedakan antara pemimpin atau calon pemimpin dari pengikut, belum pernah
ditemukan. Sehingga timbul anggapan para peneliti sifat-sifat kepemimpinan
bahwa pemimpin dilahirkan, bukan dibuat,
atau seseorang itu dilahirkan membawa atau tidak membawa sifat-sifat yang
diperlukan bagi seorang pemimpin.
Seorang
peneliti, Edwin Ghiselli, dalam penelitian ilmiahnya telah menunjukkan
sifat-sifat tertentu yang tampaknya penting untuk kepemimpinan efektif.
Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Kemampuan dalam
kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability) atau pelaksanaan
fungsi-fungsi dasar manajemen, terutama pengarahan dan pengawasan pekerjaan
orang lain.
2.
Kebutuhan akan
prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggung jawab dan keinginan
sukses
3.
Kecerdasan,
mencakup kebijakan, pemikiran kreatif dan daya pikir
4.
Ketegasan
(decisiveness) atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan
masalah-masalah denga cakap dan tepat
5.
Kepercayaan
diri, atau pandangan terhadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi
masalah
6.
Inisiatif atau kemampuan
untuk bertindak tidak tergantung, mengembangkan serangkaian kegiatan dan
menemukan cara-cara baru atau inovasi.
Sedangkan
Keith Davis mengikhtisarkan 4 ciri sifat
utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi
:
kecerdasan,
kedewasaan dan keluasan hubungan social, motivasi diri dan dorongan berprestasi
, dan sikap-sikap hubungan manusiawi.[19]
Keterbatasan
Pendekatan Kesifatan
Ada
banyak ketrebatasan dalam pendekatan yang melihat sifat-sifat kepemimpinan.
Sebagai contoh, telah banyak yang tahu tokoh-tokoh seperti Napoleon, Alexander
the Great, Abraham Lincoln,Sukarno, Mahatma Gandhi, Mao tse-tung, Adolf Hitler,
Winston Churchill, Suharto dan sebagainya, yang dalam berbagai hal berbeda satu
dengan yang lain. Namun, tidak tampak sifat-sifat kepemimpinan yang ditemukan
secara umum pada semua tokoh-tokoh tersebut. Dalam kenyataannya, banyak dari
mereka, seperti Hitler dan Lincoln, mempunyai sifat-sifat yang berbeda. Ada
juga berbagai kasus dimana seorang pemimpin sukses dalam suatu situasi tetapi
tidak dalam situasi lain. Akhirnya, walaupun sifat yang dikemukakan para
peneliti dapat menjadi yang diinginkan ada dalam diri pemimpin, tetapi tidak
satu pun sifat yang secara absolute esensial. [20]
C.
Pendekatan
Perilaku Kepemimpinan
Pendekatan
perilaku kepemimpinan lebih berfokus pada menentukan apa yang dilakukan oleh
para pemimpin efektif, bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaiman mereka
berkomunikasi dengan dan memotivasi bawahan mereka,bagaiman mereka menjalankan
tugas, dan sebagainya. Tidak seperti sifat-sifat perilaku dapat dipelajari dan
dikembangkan. Sehingga individu dapat dilatih dengan perilaku-perilaku
kepemimpinan yang tepat agar mampu memimpin lebih efektif. Pendekatan prilaku
memusatkan perhatiannya pada dua aspek yaitu fungsi-fungsi dan gaya-gaya kepemimpinan. [21]
Fungsi-fungsi
Kepemimpinan
Aspek
pertama pendekatan perilaku kepemimpinan menekankan pada fungsi-fungsi yang
dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan secara efektif,
seseorang harus melaksanakan dua fungsi utama : 1)fungsi-fungsi yang
berhubungan dengan tugas (task-related) atau pemecahan masalah, dan 2) fungsi-fungsi
pemeliharaan kelompok (group-maintenance) atau social. Fungsi pertama
menyangkut pemberian saran penyelesaian, informasi dan pendapat. Fungsi kedua
mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar,
persetujuan dengan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat, dan
sebagainya.
Aspek
kedua tentang perilaku kepemimpinan
adalah memusatkan pada gaya pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua
gaya kepemimpinan yaitu gaya dengan orientasi tugas (task-oriented) dan gaya
dengan orientasi karyawan (employee-oriented).[22]
V.
Teori
X dan Teori Y
Strategi
kepemimpinan efektif yang menggunakan manajemen pertisipatif dikemukakan oleh
Douglas McGregor, dalam buku klasiknya, The Human Side Of Enterprise. Buku ini
mempunyai dampak besar pada para manajer, sehingga walaupun edisi pertamanya
telah dipublikasikan lebih dari dua decade, tetapi konsep-konsepnya masih
dipelajari dalam program-program pengembangan manajemen saat ini. Konsep
McGregor yang paling terkenal adalah bahwa strategi kepemimpinan dipengaruhi
anggapan-anggapan seorang pemimpin tentang sifat asar manusia. Sebagai hasil
pengalamannya menjadi konsultan McGregor menyimpulkan dua kumpulan anggapan
yang saling berlawanan yang dibuatboleh para manajer dalam industri.
Anggapan-anggapan
Teori X
1.
Rata-rata
pembawaan manusia adalah malas atau tidak menyukai pekerjaan dan akan
menghindari bila mungkin.
2.
Karena
karakteristik manusia tersebut, orang harus dipaksa, di awasi, diarahkan, atau
diancam dengan hukuman agar merekan menjalankan tugas untuk mencapai
tujuan-tujuan organisasi.
3.
Rata-rata
manusia lebih menyukai diarahkan, ingin menghindari tanggung jawab, mempunyai
ambisi relative kecil, dan menginginkan keamanan atau jaminan hidup diatas
segalanya.
Anggapan-anggapan Teori Y
1.
Penggunaan
uasaha phisik dan mental dalam bekerja adalah kodrat manusia, seperti bermain
atau istirahat.
2.
Pengawasan dan
ancaman hukuman eksternal bukanlah satu-satunya cara untuk mengarahkan usaha
pencapaian tujuan organisasi. Orang akan melakukan pengendalian diri dan
pengarahan diri untuk mencapai tujuan yang yang telah disetujui.
3.
Keterikatan pada
tujuan merupakan fungsi dari penghargaan yang berhubungan dengan pestasi
mereka.
4.
Rata-rata
manusia dalam kondisi yang layak, belajar tidak hanya untuk menerima tetapi
mencari tanggungjawab.
5.
Ada kapasitas
besar untuk melakukan imajinasi, kecerdikan dan kreatifitas dalam penyelesaian
masalah-masalah organisasi yang secara luas tersebar pada seluruh karyawan.
6.
Potensi
intelektual rata-rata manusia hanya digunakan sebagian saja dalam kondisi kehidupan
industry modern.
Seorang pemimpin yang menganut
anggapan-anggapan teori X akan cenderung menyukai gaya kepemimpina otokratik.
Sebaliknya, pemimpin yang mengikuti teori Y akan lebih menyukai gaya
kepemimpinan partisipasif atau demokratis. [23]
VI.
Pendekatan
Situasional-Teori Contingency
Pendekatan
kesifatan dan perilaku belum sepenuhnya dapat menjelaskan kepemimpinan.
Disamping itu, sebagian besar penelitiaan masa kini menyimpulkan bahwa tidak
ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer dalam seluruh kondisi. Pendekatan situasional-contigency
menggambarkan bahwa gaya yang digunakan adalah bergantung pada factor-faktor
seperti situasi, karyawan, tugas, organisasi dan variable-variabel lainnya.
Teori-teori situasional yang terkenal adalah : rangkaian kesatuan kepemimpinan
dari Tannembaum dan Schmidt, teori “contingency” dari Fiedler, dan teori
siklus-kehidupan dari Hersey dan Blanchard.
Factor-faktor yang
Mempengaruhi Perilaku Kepemimpinan
Ada
berbagai faktor yang mempengaruhi situasi kepemimpinan. Mary Parker Follett,
yang mengembangkan hukum situasi, mengatakan bahwa ada tiga variabel kritis
yang mempengaruhi gaya pemimpin, yaitu: pemimpin, pengikut atau bawahan, dan
situasi. Ketiganya saling berhubungan dan berinteraksi, seperti ditunjukkan gambar dibawah ini. Follet uga
menyatakan bahwa para pemimpin seharusnya berorientasi pada kelompok dan bukan
berorientasi pada kekuasaan.
Berbagai
penelitian juga menunjukkan kompleksitas kepemimpinan dimana ada lebih banyak
variabel yang saling berhubungan terlibat. Variabel-variabe tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai faktor-faktor makro dan faktor-faktor mikro.
Faktor makro ;
1.
Sosial dan
kebudayaan
2.
Industry
3.
Kondisi
perekonomian
4.
Organisasional
Faktor
mikro :
1.
Pengharapan dan
perilaku atasan
2.
Tingkatan
organisasi dan besarnya kelompok
3.
Perilaku
kepemimpinan
4.
Kepribadian dan
latar belakang pemimpin
5.
Pengharapan dan
perilaku bawahan [24]
Teori Contingency dari Fledler
Suatu
teori kepemimpinan yang kompleks dan menarik adalah contingency model of
leadership effectiveness dari Fred Fiedler. Pada dasarnya, teori ini menyatakan
bahwa efektivitas suatu kelompok atau organisasi tergantung pada interaksi
antara kepribadian pemimpin dan situasi. Situasi dirumuskan dengan dua karakter
yaitu : derajat situasi dimana pemimpin menguasai, mengendalikan dan
mempengaruhi situasi, dan derajat situasi yang menghadapkan manajer dengan
ketidakpastian. Fiedler mengidentifikasikan ketiga unsur dalam situasi kerja
ini untuk membantu menentukan gaya kepemimpinan mana yang akan efektif yaitu
hubungan pimpinan anggota, struktur tugas, dan posisi kekuasaaan pemimpin yang
didapatkan dari wewenang situasional lainnya, seperti motivasi dan nilai-nilai
bawahan, pengalaman pemimpin dan anggota kelompok.
Situasi
dinilai dalam istilah situasi yang menguntungkan atau yidak menguntungkan.
Situasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan apabila dikombinasikan
dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas akan efektif. Bila siyuasi yang
menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya moderat, tipe pemimpin hubungan manusiawi
atau toleran dan kunak akan sangat efektif. Akan memperjelas bagaimana gaya
kepemimpinan efektif bervariasi dengan situasi.[25]
Kesimpulan
:
Motivasi
(motivation) adalah berbagai factor yang
menyebabkan, menyalurkan, dan memepertahankan tingkah laku individual dan
mendorong perbuatan kearah suatu tujuan tertentu.sedangkan Kepemimpinan dapat diartikan sebagai proses
mempengaruhi dan mengarahkan para pegawai dalam melakukan pekerjaan yang telah
ditugaskan kepada mereka.
Pemimpin
tidak hanya memberikan pengarahan kepada bawahannnya saja. Namun pemimpin juga
harus bisa memberikan motivasi atau dukungan kepada bawahannya.Tidak dapat
disangkal lagi bahwa pengaruh motivasi yang diberikan pemimpin kepada
bawahannya juga sangat penting untuk meningkatkan kinerja bawahannya. Karena
dengan terciptanya hubungan yang baik antara pemimpin dan bawahan akan
memudahkan untuk mencapai tujuan perusahaan.
Gaya kepemimpinan yang efektif juga dapat
menentukan kinerja karyawan. Menurut Edwin Ghiselli, dalam penelitian ilmiahnya
telah menunjukkan sifat-sifat tertentu yang tampaknya penting untuk kepemimpinan
efektif. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Kemampuan dalam
kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability) atau pelaksanaan
fungsi-fungsi dasar manajemen, terutama pengarahan dan pengawasan pekerjaan
orang lain.
2.
Kebutuhan akan
prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggung jawab dan keinginan
sukses
3.
Kecerdasan,
mencakup kebijakan, pemikiran kreatif dan daya pikir
4.
Ketegasan
(decisiveness) atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan
masalah-masalah dengan cakap dan tepat
5.
Kepercayaan
diri, atau pandangan terhadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi
masalah
6.
Inisiatif atau
emampuan untuk bertindak tidak tergantung, mengembangkan serangkaian kegiatan
dan menemukan cara-cara baru atau inovasi.
Daftar
Pustaka
1.
T. Hani Handoko,
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, (Yogyakarta: BPFE, 2003), hlm 262-263, 293-309.
2.
Yohanes Yahya, Pengantar Manajemen, (Grahana Ilmu), hlm
105-107
3.
Agus Sabardi, Manajemen Pengantar, (UPP AMP YKPN), hlm
133, 142, 251
4.
Ernie Tisnawati
Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar
Manajemen, hlm 235- 255
[1]
T Hani Handoko, manajemen, BPFE, hlm. 251
[2]
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 235-236
[3]
Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen,
Graha Ilmu
[4]
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 254
[5]
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 240
[6]
Agus Sabardi, Manajemen Pengantar,
UPP, AMP, YKPN, hlm 133
[7]
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 242
[8]
Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen,
Graha Ilmu
[9]
Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen,
Graha Ilmu
[10]
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 248
[11]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 263
[12]
Agus Sabardi, Manajemen Pengantar,
UPP, AMP, YKPN, hlm 142
[13]
Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen,
Graha Ilmu, hlm 107
[14]
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 251-252
[15]
Ernie Tisnawati Sule & Kurniawan Saefullah, Pengantar Manajemen, hlm 255
[16]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 309
[17]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 306
[18]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 295
[19]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 296-297
[20]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 297-298
[21]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 298
[22]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 299
[23]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 300
[24]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 307-308
[25]
T. Hani Handoko, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Manajemen, ( Yogyakarta: BPFE, 2003 )
hlm 311
josss
BalasHapus