Selasa, 19 September 2017

SHOLAT DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN DAN TAFSIR



MAKALAH SHOLAT DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN DAN TAFSIR
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sholat merupakan salah satu tiang bangunan islam. Begitu pentingnya arti sebuah tiang dalam suatu bangunan yang bernama islam, sehingga takkan mungkin untuk ditinggalkan. Makna bathin juga dapat ditemukan dalam sholat yaitu: kehadiran hati, tafahhum (Kefahaman terhadap ma’na pembicaraan), ta’dzim (Rasa hormat), mahabbah, raja’ (harap) dan haya (rasa malu), yang keseluruhannya itu ditujukan kepada Allah sebagai Ilaah. Sesungguhnya shalat merupakan sistem hidup, manhaj tarbiyah dan ta’lim yang sempurna, yang meliputi (kebutuhan) fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi bersih dan bersemangat, akal bisa terarah untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi bersih dan suci.
Shalat merupakan tathbiq ‘amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal yang membuka atap masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan kebebasan itu terwujud nyata. Terlihat pula dalam shalat makna keprajuritan orang-orang yang beriman, ketaatan yang paripurna dan keteraturan yang indah. Ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:  “Apabila kamu melihat seseorang membiasakan ke Masjid, maka saksikanlah untuknya dengan iman.” (HR. Tirmidzi).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Shalat dan apa dasar hukumnya ?
2.      Penafsiran ayat tentang Shalat ?
3.      Apa sebab turunnya ayat-ayat mengenai Shalat ?



BAB II
PEMBAHASAN
Q.S. Al-Hajj : 77
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãèŸ2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3­/u (#qè=yèøù$#ur uŽöyø9$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (Q.S. Al-Hajj : 77)

1.    Tafsir Mufradat

   اركعوا : Rukuklah kamu, yaitu gerakan membungkuk dan diikuti dengan membaca bacaan dzikir di dalam shalat.
وآسجدوآ : Sujudlah kamu, yaitu  perintah untuk menyembah Allah dalam keadaan sujud di atas tujuh anggota, di atas dahi dan diisyarat dengan tangannya di atas hidungnya, dan dua tangan dan dua lutut dan perut-perut anak jari dua kaki.[1]


A.    Pengertian Shalat Dan Dalil Yang Menjelaskannya
Secara etimologi, ulama memiliki keragaman pendapat mengenai asal kata الصلاة . sebagian di antara mereka berpendapat bahwa shalat berarti الركوع والسجود, itulah sebabnya di dalam al Qur’an ada beberapa ayat yang memerintahkan shalat –utamanya shalat berjama’ah- menggunakan term ruku’ dan sujud. Shalat juga berarti الدعاء والتبريك والتمجيد (doa, memohonkan keberkahan dan memulikan).
Kata الصلاة dalam ayat tersebut berarti تزكية الله وملائكته والمسلمين إياه “penyucian atau pemuliaan Allah, para malaikat dan orang-orang Islam kepada Nabi Muhammd”.  Hanya saja oleh sebagian ulama diklasifikaikan sumber shalat tersebut, bila asalnya dari Allah maka itu berarti rahmat dan kasih sayang, bila iu berasal  dari makhluk termasuk para malaikat, jin dan manusia maka itu berarti doa dan permohonan ampunan.
Adapun shalat menurut istilah atau terminologi maka ditemukan banyak defenisi yang disampaikan ulama, hanya saja defenisi-defenisi tersebut tampaknya sama sekalipun pengungkapannya berbeda yaitu :التعبُّدُ للَّهِ تعالى بأقوال وأفعال معلومة، مفتتَحة بالتَّكبير، مختتَمة بالتَّسليم yang berarti bahwa shalat adalah bentuk penyembahan atau peribadatan kepada Allah melalui beberapa bacaan dan gerakan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[2]
Shalat merupakan bagian tertinggi dalam agama setelah tauhid. Ibarat kepala dalam susunan organ tubuh, manusia tak bisa hidup tanpanya. Begitu pula halnya dengan agama, ia tak bisa hidup tanpa shalat.
Shalat ialah penopang rukun islam yang lain. Karena, ia mengingatkan hamba akan kemuliaan Allah SWT dan kehinaan hamba serta urusan pahala dan siksa. Dengan shalat, seorang hamba semakin mudah untuk selalu menaati-Nya.
Kata “shalat yang dibarengi kewajiban-kewajiban yang lain senantiasa didahulukan penyebutnya. Bahkan, shalat dijadikan sebagai pembuka dan penutup setiap amal kebajikan.
v  Dalil Yang Menjelaskan Tentang Shalat 
Q.S. Huud (114)
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ÇnûtsÛ Í$pk¨]9$# $Zÿs9ãur z`ÏiB È@øŠ©9$# 4 ¨bÎ) ÏM»uZ|¡ptø:$# tû÷ùÏdõムÏN$t«ÍhŠ¡¡9$# 4 y7Ï9ºsŒ 3tø.ÏŒ šúï̍Ï.º©%#Ï9 ÇÊÊÍÈ  
Artinya : “dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS. Huud : 114)

(QS. Al-Baqarah : 153)
$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãYÏètGó$# ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÌÈ  
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah 153).
  
(QS. Al-Baqarah : 238-239)[3]
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ   ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_̍sù ÷rr& $ZR$t7ø.â ( !#sŒÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2øŒ$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? šcqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ  
Artinya : “peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (238)
“jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”(239)

B.     Penafsiran Ayat Mengenai Shalat
Tuhan menciptakan manusia agar mereka beribadah kepada-Nya. Manusia memang tidak diperintahkan Tuhan kecuali supaya ibadah itu dikerjakan dengn ikhlas dan lurus. 
Menurut Muhammad Abduh, ibadah mempunyai bentuk bermacam-macam dalam setiap agama, disyariatkan Tuhan untuk mengingatkan manusia terhadap keagungan dan kekuasaan-Nya yang memang keduanya merupakan jiwa dan rahasia ibadah. Manusia, dengan ibadah yang dilakukannya, seharusnya senantiasa ingat kepada Tuhan dan merasa dekat kepada-Nya. Ibadah yang benar, kata Abduh, mempunyai pengaruh efektif terhadap pembentukan akhlak mulia serta pendidikan jiwa manusia, sehingga ia mampu berbuat baik kepada saudara-saudaranya yang muslim, dan orang lain tidak terganggu oleh ucapan dan perbuataannya.
Atas dasar pemikiran tersebut, Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan bidang ibadah sedikit sekali mengembangkan tafsirnya dengan pendekatan fiqh sebagaimana hal itu dilakukan oleh sebagian ahli tafsir. Yang menjadi perhatian utamanya, kelihatannya, ialah tentang hikmah disyariatkannya ibadah-ibadah itu, yaitu sebagai wahana untuk membersihkan ruh, mendidik hati nurani (tarbiyat al-dlamir) dan memperbaiki moral manusia.[4]

(QS. Al-Baqarah : 153)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَ الصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْن
"Wahai orang-orang yang beriman ! Mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (ayat 153).
Maksud ini adalah maksud yang besar. Suatu cita-cita yang tinggi. Mene­gakkan kalimat Allah, memancarkan tonggak Tauhid dalam alam. Memban­teras perhambaan diri kepada yang selain Allah. Apabila langkah ini telah dimulai, halangannya pasti banyak, jalannya pasti sukar. Bertambah mulia dan tinggi yang dituju, bertambah sukarlah dihadapi. Oleh sebab itu dia meminta semangat baja, hati yang teguh dan pengorbanan-pengorbanan yang tidak mengenal lelah. Betapapun mulianya cita-cita, kalau hati tidak teguh dan tidak ada ketahanan, tidaklah maksud akan tercapai. Nabi-nabi yang dahulu daripada Muhammad s.a.w: semuanya telah menempuh jalan itu dan semuanya meng­hadapi kesulitan.
Kemenangan mereka hanya pada kesabaran. Maka kamu orang yang telah menyatakan iman kepada Muhammad wajiblah sabar, sabar menderita, sabar menunggu hasilnya apa yang dicita-citakan. Jangan gelisah tetapi hendaklah tekap hati.
Sampai seratus satu kali kalimat sabar tersebut dalam al-Quran. Hanya dengan sabar orang dapat mencapai apa yang dimaksud. Hanya dengan sabar orang bisa mencapai derajat Iman dalam perjuangan. Hanya dengan sabar menyampaikan nasihat kepada orang yang lalai. Hanya dengan sabar kebena­ran dapat ditegakkan.

(QS. Al-Baqarah : 238-239)
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ   ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_̍sù ÷rr& $ZR$t7ø.â ( !#sŒÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2øŒ$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? šcqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ  
Artinya : “peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (238)
“jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”(239)
Allah Ta’ala memerintahkan untuk memelihara semua shalat pada waktunya masing-masing, memelihara ketentuannya dan kamu mengerjakan-nya tepat pada waktunya. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Ibnu Masud, ia menceritakan: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ Lalu kutanyakan lagi: ‘Kemudianapa lagi? Beliau menjawab: ‘Jihad di jalan Allah.’ ‘Kemudian apa lagi?’ tanyaku lebih lanjut. Beliau menjawab: ‘Berbuat baik kepada ibu bapak.’” Ibnu Masud mengatakan: “Semua itu disampaikan oleh Rasulullah saw. kepadaku. Dan seandainya aku menambahkan pertanyaan, niscaya beliau akan menambah pula jawabannya.”
Allah swt. memberi kekhususan dengan memberikan penekanan pada shalat wustha. Para ulama, baik Salaf maupun Khalaf berbeda pendapat, tentang apa yang dimaksud dengan shalat wustha di sini.

C.    Asbabun Nuzul Ayat yang Menjelaskan Tentang Shalat

(QS. Al-Baqarah : 153)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَ الصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْن
"Wahai orang-orang yang beriman ! Mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (ayat 153).
Lebih 25 tahun Ya'kub sabar menunggu pulang anaknya yang hilang, sampai berputih mata; akhirnya anaknya Yusuf kembali juga. Tujuh tahun Yusuf menderita penjara karena fitnah; dengan sabarnya dia jalani nasibnya; akhirnya dia dipanggil buat menjadi Menteri Besar.
Bertahun-tahun Ayub menderita penyakit sehingga tersisih dari anak isteri; akhirnya penyakitnya disembuhkan Tuhan dan setelah pulang ke rumah didapatinya anak yang 10 telah menjadi 20, karena semua sudah kawin dan sudah beranak pula. Ibrahim dapat menyem­purnakan kalimat-kalimat ujian Tuhan karena sabar. Demikianlah Musa de­ngan Bani-Israil. Ismail membangun angkatan Arab yang baru. Isa Almasih dengan Hawariyin semuanya dengan sabar.
Ada Nabi yang nyaris kena hukuman karena tidak sabar; yaitu Nabi Yunus. Ditinggalkannya kaumnya karena seruannya tidak diperdulikan. Maka buat melatih jiwa dia ditakdirkan masuk perut ikan beberapa hari lamanya. Tetapi keluar dari sana dia membangun diri lagi dengan kesabaran.[5]

(QS. Al-Baqarah : 238-239)
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ   ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_̍sù ÷rr& $ZR$t7ø.â ( !#sŒÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2øŒ$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? šcqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ  
Artinya : “peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (238)
“jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”(239)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah shalat shubuh di masjid Bashrah, lalu ia membaca qunut sebelum ruku’. Dan ia mengatakan; “Inilah shalat wustha yang, disebutkan Allah dalam kitab-Nya: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha. berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”)
Masih menurut Ibnu Jarir, dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan, “Shalat wustha adalah shalat Shubuh.” Juga diriwayatkan Ibnu Abi Hatim, dari Ibnu Umar, Abu Umamah, Anas, Abu Aliyah, Ubaid bin Umair, Atha’ al-Khurasani, Mujahid, Jabir bin Zaid, Ikrimah, dan Rabi’ bin Anas. Dan itu pula yang ditetapkan Imam Syafi’i rahimahullahu berdasarkan pada firman Allah Ta’ala: wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”) Menurutnya, qunut itu dibaca pada shalat Subuh.
Ada juga yang mengatakan bahwa shalat wustha adalah shalat Dhuhur. Imam Ahmad meriwayatkan, dari Zaid bin Tsabit, ia menceritakan, Rasulullah saw. pernah mengerjakan shalat dhuhur pada tengah hari setelah matahari tergelincir. Beliau belum pernah mengerjakan suatu shalat yang lebih menekankan kepada para sahabatnya dari shalat tersebut, lalu turunlah ayat: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa quumuu lillaaHi qaanitiin.
Dan Zaid bin Tsabit ra. mengatakan: “(Karena) sesungguhnya sebelum shalat Zhuhur itu ada dua shalat (yaitu shalat isya dan shubuh) dan sesudahnya pun ada dua shalat (yaitu ashar dan maghrib).”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Dawud dalam bukunya Sunana Abi Dawud, dari Syu’bah. Yang demikian itu juga menjadi pendapat Urwah bin Zubair, Abdullah bin Syidad bin al-Haad, dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah rahimahullahu.
Menurut pendapat lain bahwa shalat wustha itu adalah shalat Ashar. At-Tirmidzi dan Baghawi rahimahullahu mengatakan, itu adalah pendapat terbanyak dari ulama kalangan sahabat. Al-Qadhi al-Mawardi mengatakan, hal tersebut merupakan pendapat mayoritas tabi’in, sedangkan al-Hafizh Abu Umar bin Abdul Barr mengatakan: “Ini merupakan pendapat mayoritas ahlul atsar dan madzhab Ahmad bin Hanbal.” Lebih lanjut al-Qadhial-Mawardi dan asy-Syafi’i mengatakan, Ibnu Mundzir mengemukakan: “Dan itulah yang shahih dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad, dan menjadi pilihan Ibnu Habib al-Maliki rahimahullahu.”
Beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali, ia berkata, Rasulullah pernah bersabda pada peristiwa Ahzab: “Mereka (orang-orang kafir) telah menyibukkan kami dari shalat wustha, yaitu shalat Ashar. Semoga Allah memenuhi hati dan rumah mereka dengan api.” Kemudian beliau mengerjakannya di antara Maghrib dan Isya’.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan Muslim), Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasa’i dan beberapa penulis kitab al-Musnad, as-Sunan dan ash-Shahih. Hal itu diperkuat dengan perintah untuk memelihara shalat tersebut.
Dan dalil lainnya ialah sabda Rasulullah dalam hadits shahih riwayat az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan shalat Ashar, maka seakan-akan ia telah dirampas keluarga dan hartanya.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Nadrah al-Ghifari, ia menceritakan, Rasulullah pernah mengerjakan shalat Ashar bersama kami di salah satu lembah yang bernama al-Hamish, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya shalat ini pernah ditawarkan kepada orang-orang sebelum kalian, namun mereka menyia-nyiakannya. Ketahuilah, barangsiapa mengerjakannya, maka akan dilipatgandakan pahalanya dua kali lipat. Dan ketahuilah, tidak ada shalat setelahnya hingga kalian melihat saksi (Matahari tenggelam, alam mulai gelap.)”
Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan an-Nasa’i. Sedangkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Abu Yunus, seorang budak Aisyah, ia menceritakan, Aisyah pernah menyuruhku menulis sebuah mushaf, ia menuturkan: “Jika sudah sampai pada ayat: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha”) maka beritahu aku.” Ketika sampai pada ayat tersebut, aku pun memberitahunya, lalu beliau mendiktekan kepadaku: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa shalaatil ‘ashri wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha, yaitu shalat Ashar dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu’.”) Aisyah menuturkan, aku mendengarnya dari Rasulullah saw. Diriwayatkan juga oleh Imam Malik, dari Zaid bin Aslam, dari Amr bin Rafi’, ia menceritakan: “Aku pernah menulis sebuah mushaf untuk Hafshah, isteri Nabi, lalu Hafshah berkata: ‘Jika sudah sampai pada ayat ini: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha”) maka beritahukanlah aku.” Ketika sampai ayat tersebut, aku pun memberitahukannya, lalu Hafshah mendiktekan kepadaku: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa shalaatil ‘ashri wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha, yaitu shalat Ashar dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu’.”)
Pertama, jika hal itu diriwayatkan dengan anggapan bahwa ia merupakan kalimat berita, maka hadits Ali berkedudukan lebih shahih dan lebih jelas darinya. Karena kemungkinan huruf “wawu” (dan) dalam ayat tersebut berkedudukan sebagaii “wawu zaidah” (wawu tambahan), seperti firman Allah yang artinya: “Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an, (supaya jelas jalan orang-orang shaleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-An’aam: 55). Dan juga firman-Nya yang artinya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) dilangit dan di bumi. Dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (QS. Al-An’ aam: 75).
Atau huruf “wawu” (dan) pada ayat itu berkedudukan untuk menghubungkan dan bukan dzat. Misalnya adalah finnan Allah swt. berikut ini: “Tetapi ia adalah Rasulullah saw. dan penutup para nabi.” (Al-Ahzaab: 40). Juga firman-Nya yang lain: “Sucikanlah nama Rabbmu yang Mahatinggi, yang menciptakan dan yang menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) serta memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan.” (QS. Al-A’la: 1-4). As-Sunnah telah menetapkan bahwa shalat wustha adalah shalat Ashar. Maka jelaslah pengertian itu kembali kepadanya.
Firman Allah swt. yang selanjutnya: wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”) Yakni dengan merendahkan diri dan tenang di hadapan-Nya. Yang demikian itu mengharuskan tidak berbicara dalam shalat, karena bertentangan dengan kekhusyu’an. Oleh karena itu’, tatkala tidak menjawab salam Ibnu Mas’ud, karena beliau sedang menjalankan shalat, beliau memberikan alasan dengan bersabda: “Sesungguhnya dalam shalat itu benar-benar terdapat kesibukan.” (Muttafaqun alaih).
Sedangkan dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Mu’awiyah bin Hakam al-Sulami ketika ia berbicara dalam shalat: “Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak diperbolehkan sedikit pun dari pembicaraan manusia. Shalat itu adalah tasbih, takbir, dan dzikir kepada Allah.”
Firman Allah Ta’ala selanjutnya: fa in khiftum fa rijaalan au rukbaanan fa idzaa amintum fadzkurullaaHa kamaa ‘allamakum maa lam takuunuu ta’lamuun (“Jika kamu dalam keadaan takut [bahaya], maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah [shalatlah] sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.”)
Ketika Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa memelihara semua shalat dan menjalankan ketentuan-ketentuannya serta memberikan penekanan padanya, Dia menyebutkan keadaan di mana seseorang tidak dapat mengerjakan shalat secara benar dan sempurna, yaitu dalam keadaan perang dan pertempuran sengit. Dia berfirman: fa in khiftum fa rijaalan au rukbaanan (“Jika kalian dalam keadaan takut [bahaya], maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.”) Artinya, kerjakan shalat dalam keadaan bagaimanapun juga, dalam keadaan berjalan maupun naik kendaraan, baik menghadap kiblat maupun membelakanginya. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik, dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar apabila ditanya mengenai shalat khauf, maka ia menggambarkannya dan kemudian berkata: “Jika rasa takut lebih mencekam daripada itu, mereka mengerjakan shalat sambil berjalan kaki atau menaiki kendaraan, dengan menghadap kiblat ataupun tidak.”
Nafi’ mengatakan, aku tidak mengetahui Ibnu Umar menyebutkan hal itu melainkan dari Nabi saw. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Bukhari, dan lafadz di atas adalah dari Imam Muslim.
Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan hal yang sama atau yang mendekati hal itu, dari Ibnu Umar, dari Nabi saw.
Sedangkan menurut riwayat Imam Muslim, dari Ibnu Umar, ia mengatakan, “Jika rasa takut lebih mencekam daripada itu, maka shalatlah dalam keadaan menaiki kendaraan atau berdiri dengan menggunakan isyarat.”
Dan dalam hadits Abdullah bin Unais al Juhani, disebutkan, ketika ia diutus oleh Rasulullah untuk membunuh Khalid bin Sufyan, pada saat itu ia menghadap ke Arafah. Ketika ia sedang menghadap ke Arafah, datang waktu shalat Ashar. Ia mengatakan, “Aku khawatir kehabisan waktu Ashar, maka aku pun shalat dengan menggunakan isyarat.” Secara lengkap, hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan isnad jayyid.
Hal ini merupakan keringanan dari Allah, yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya dan Dia lepaskan semua beban dan belenggu dari diri mereka.
Mengenai apa yang telah dinashkan, Imam Ahmad berpendapat bahwa shalat khauf itu kadangkala dikerjakan dengan satu rakaat saja, jika antara dua pasukan sedang bertempur sengit. Dalam keadaan seperti itulah berlaku hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir, dari Abu Awanah al-Wadhah bin Abdullah al-Yasykuri. Imam Muslim, Nasa’i, dan Ayub bin A’idz menambahkan, keduanya dari Bakir bin al-Akhnas al-Kufi, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Allah Ta’ala mewajibkan shalat melalui ucapan Nabi kalian dalam keadaan normal empat raka’at, dalam perjalanan (musafir) dua rakaat, dan dalam keadaan takut (khauf) satu rakaat.”
Dalam bab “Ash-Shalatu ‘inda munahadhatil hushun wa liqa’il aduww. “(Shalat pada saat menyerbu benteng dan bertemu musuh) Imam al-Bukhari me-riwayatkan, al-Auza’i mengatakan, “Jika pertempuran sudah mulai dan mereka tidak sanggup mengerjakan shalat, maka mereka mengerjakannya dengan menggunakan isyarat, masing-masing orang mengerjakannya sendiri-senditi. Dan jika mereka tidak mampu menggunakan isyarat, mereka mengakhirkan shala tsehingga pertempuran berakhir dan keadaan tenang. Setelah itu mereka baru mengerjakan shalat dua rakaat. Dan jika mereka tetap tidak mampu melakukan hal itu, maka mereka akan mengerjakan satu rakaat dan dua sujud. Dan jika tidak mampu juga, karena takbir saja tidak cukup bagi mereka, maka mereka mengakhirkannya, sampai keadaan aman.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Makhul. Anas bin Malik mengatakan: “Aku pernah mengikuti penyerangan benteng Tustar pada saat sinar fajar muncul, dan api pertempuran semakin sengit, sedang mereka tidak dapat mengerjakan shalat, dan kami pun tidak mengerjakan shalat kecuali setelah siang hari. Kemudian kami segera mengerjakannya, saat itu kami bersama Abu Musa, lalu diberikan kemenangan kepada kami.” Lebih lanjut Anas bin Malik mengatakan: “Dunia dan isinya tidak menggembirakanku lebih dari shalat ketika itu.”
Demikian lafazh Imam al-Bukhari. Kemudian hal itu diperkuat dengan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. mengakhirkan shalat Ashar sampai matahari tenggelam pada peristiwa Khandaq karena alasan perang. Juga dengan sabda Rasulullah yang disampaikan setelah itu kepada para sahabatnya ketika mereka dipersiapkan untuk berangkat ke Bani Quraidzah: “Janganlah ada seorang pun dari kalian yang mengerjakan shalat Ashar, kecuali setelah sampai di Bani Quraidzah.” (Muttafaqun `alaih).[6]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara etimologi, ulama memiliki keragaman pendapat mengenai asal kata الصلاة . sebagian di antara mereka berpendapat bahwa shalat berarti الركوع والسجود, itulah sebabnya di dalam al Qur’an ada beberapa ayat yang memerintahkan shalat –utamanya shalat berjama’ah- menggunakan term ruku’ dan sujud. Shalat juga berarti الدعاء والتبريك والتمجيد (doa, memohonkan keberkahan dan memulikan).
Adapun shalat menurut istilah atau terminologi maka ditemukan banyak defenisi yang disampaikan ulama, hanya saja defenisi-defenisi tersebut tampaknya sama sekalipun pengungkapannya berbeda yaitu :التعبُّدُ للَّهِ تعالى بأقوال وأفعال معلومة، مفتتَحة بالتَّكبير، مختتَمة بالتَّسليم yang berarti bahwa shalat adalah bentuk penyembahan atau peribadatan kepada Allah melalui beberapa bacaan dan gerakan tertentu yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.

Q.S. Al-Hajj : 77
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãèŸ2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3­/u (#qè=yèøù$#ur uŽöyø9$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (Q.S. Al-Hajj : 77)




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hamdani. Tafsir Ahkam 1. Nora Media Enterprise. Kudus. 2010.
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin. FIQIH MADZHAB SYAFI’I.  CV PUSTAKA SETIA. Bandung. 2000.
Muhammad Al-Muqaddam. KEUTAMAAN DAN 1001 ALASAN KENAPA HARUS SHALAT. AQWAM. Solo. 2007.
Muhammad Amin Suma. Tafsir Ahkam 1. Pt Logos Wacana Ilmu. Jakarta. 1997.
Rif’at Syauqi Nawawi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh.  PARAMADINA. Jakarta Selatan. 2002.


[1] Ahmad Hamdani, Tafsir Ahkam 1, Nora Media Enterprise, Kudus, 2010, hal. 135-138
[2] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, FIQIH MADZHAB SYAFI’I, CV PUSTAKA SETIA, Bandung, 2000, hlm. 23-25
[3] Muhammad Al-Muqaddam, KEUTAMAAN DAN 1001 ALASAN KENAPA HARUS SHALAT, AQWAM, Solo, 2007, hlm. 15-18
[4]  Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, PARAMADINA, Jakarta Selatan, 2002, hlm. 159-160
[5] Muhammad Amin Suma, Tafsir Ahkam 1, Pt Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, Hal. 25-27
[6] Muhammad Amin Suma, Ibit. Hal. 38-40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar