MAKALAH SHOLAT DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN DAN TAFSIR
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sholat
merupakan salah satu tiang bangunan islam. Begitu pentingnya arti sebuah tiang
dalam suatu bangunan yang bernama islam, sehingga takkan mungkin untuk
ditinggalkan. Makna bathin juga dapat ditemukan dalam sholat yaitu: kehadiran
hati, tafahhum (Kefahaman
terhadap ma’na pembicaraan), ta’dzim (Rasa
hormat), mahabbah, raja’ (harap) dan haya (rasa malu), yang keseluruhannya
itu ditujukan kepada Allah sebagai Ilaah. Sesungguhnya shalat merupakan sistem
hidup, manhaj tarbiyah dan ta’lim yang sempurna, yang meliputi (kebutuhan)
fisik, akal dan hati. Tubuh menjadi bersih dan bersemangat, akal bisa terarah
untuk mencerna ilmu, dan hati menjadi bersih dan suci.
Shalat
merupakan tathbiq ‘amali (aspek aplikatif) dari prinsip-prinsip Islam baik
dalam aspek politik maupun sosial kemasyarakatan yang ideal yang membuka atap
masjid menjadi terus terbuka sehingga nilai persaudaraan, persamaan dan
kebebasan itu terwujud nyata. Terlihat pula dalam shalat makna keprajuritan
orang-orang yang beriman, ketaatan yang paripurna dan keteraturan yang indah.
Ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW: “Apabila kamu melihat seseorang membiasakan ke
Masjid, maka saksikanlah untuknya dengan iman.” (HR. Tirmidzi).
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian Shalat dan apa dasar hukumnya ?
2.
Penafsiran
ayat tentang Shalat ?
3.
Apa
sebab turunnya ayat-ayat mengenai Shalat ?
BAB II
PEMBAHASAN
Q.S.
Al-Hajj : 77
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãè2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3/u (#qè=yèøù$#ur uöyø9$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan. (Q.S. Al-Hajj : 77)
1.
Tafsir Mufradat
اركعوا
: Rukuklah kamu, yaitu gerakan membungkuk dan diikuti dengan membaca
bacaan dzikir di dalam shalat.
وآسجدوآ : Sujudlah kamu, yaitu perintah
untuk menyembah Allah dalam keadaan sujud di atas tujuh anggota, di atas dahi
dan diisyarat dengan tangannya di atas hidungnya, dan dua tangan dan dua lutut
dan perut-perut anak jari dua kaki.[1]
A.
Pengertian Shalat Dan Dalil Yang Menjelaskannya
Secara etimologi, ulama memiliki keragaman pendapat mengenai asal
kata الصلاة
. sebagian di antara mereka berpendapat bahwa shalat berarti الركوع والسجود, itulah
sebabnya di dalam al Qur’an ada beberapa ayat yang memerintahkan shalat
–utamanya shalat berjama’ah- menggunakan term ruku’ dan sujud. Shalat juga
berarti الدعاء والتبريك والتمجيد (doa, memohonkan keberkahan dan memulikan).
Kata الصلاة dalam ayat tersebut berarti تزكية الله
وملائكته والمسلمين إياه
“penyucian atau pemuliaan Allah, para malaikat dan orang-orang Islam kepada
Nabi Muhammd”. Hanya saja oleh sebagian
ulama diklasifikaikan sumber shalat tersebut, bila asalnya dari Allah maka itu
berarti rahmat dan kasih sayang, bila iu berasal dari makhluk termasuk
para malaikat, jin dan manusia maka itu berarti doa dan permohonan ampunan.
Adapun shalat menurut istilah atau terminologi maka ditemukan
banyak defenisi yang disampaikan ulama, hanya saja defenisi-defenisi tersebut
tampaknya sama sekalipun pengungkapannya berbeda yaitu :التعبُّدُ للَّهِ تعالى بأقوال وأفعال معلومة، مفتتَحة بالتَّكبير،
مختتَمة بالتَّسليم yang
berarti bahwa shalat adalah bentuk penyembahan atau peribadatan kepada Allah
melalui beberapa bacaan dan gerakan tertentu yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam.[2]
Shalat merupakan bagian tertinggi dalam agama setelah tauhid.
Ibarat kepala dalam susunan organ tubuh, manusia tak bisa hidup tanpanya.
Begitu pula halnya dengan agama, ia tak bisa hidup tanpa shalat.
Shalat ialah penopang rukun islam yang lain. Karena, ia
mengingatkan hamba akan kemuliaan Allah SWT dan kehinaan hamba serta urusan
pahala dan siksa. Dengan shalat, seorang hamba semakin mudah untuk selalu
menaati-Nya.
Kata “shalat yang dibarengi kewajiban-kewajiban yang lain
senantiasa didahulukan penyebutnya. Bahkan, shalat dijadikan sebagai pembuka dan
penutup setiap amal kebajikan.
v Dalil Yang Menjelaskan Tentang
Shalat
Q.S. Huud (114)
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ÇnûtsÛ Í$pk¨]9$# $Zÿs9ãur z`ÏiB È@ø©9$# 4 ¨bÎ) ÏM»uZ|¡ptø:$# tû÷ùÏdõã ÏN$t«Íh¡¡9$# 4 y7Ï9ºs 3tø.Ï úïÌÏ.º©%#Ï9 ÇÊÊÍÈ
Artinya : “dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada
bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi
orang-orang yang ingat.” (QS. Huud : 114)
(QS. Al-Baqarah : 153)
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä (#qãYÏètGó$# Îö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÌÈ
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah 153).
(QS. Al-Baqarah : 238-239)[3]
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_Ìsù ÷rr& $ZR$t7ø.â ( !#sÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2ø$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? cqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ
Artinya : “peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat
wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (238)
“jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil
berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah
Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui.”(239)
B.
Penafsiran Ayat Mengenai Shalat
Tuhan menciptakan manusia agar mereka beribadah kepada-Nya. Manusia
memang tidak diperintahkan Tuhan kecuali supaya ibadah itu dikerjakan dengn
ikhlas dan lurus.
Menurut Muhammad Abduh, ibadah mempunyai bentuk bermacam-macam
dalam setiap agama, disyariatkan Tuhan untuk mengingatkan manusia terhadap
keagungan dan kekuasaan-Nya yang memang keduanya merupakan jiwa dan rahasia
ibadah. Manusia, dengan ibadah yang dilakukannya, seharusnya senantiasa ingat
kepada Tuhan dan merasa dekat kepada-Nya. Ibadah yang benar, kata Abduh,
mempunyai pengaruh efektif terhadap pembentukan akhlak mulia serta pendidikan
jiwa manusia, sehingga ia mampu berbuat baik kepada saudara-saudaranya yang
muslim, dan orang lain tidak terganggu oleh ucapan dan perbuataannya.
Atas dasar pemikiran tersebut, Muhammad Abduh dalam menafsirkan
ayat-ayat yang berkenaan dengan bidang ibadah sedikit sekali mengembangkan
tafsirnya dengan pendekatan fiqh sebagaimana hal itu dilakukan oleh
sebagian ahli tafsir. Yang menjadi perhatian utamanya, kelihatannya, ialah
tentang hikmah disyariatkannya ibadah-ibadah itu, yaitu sebagai wahana untuk
membersihkan ruh, mendidik hati nurani (tarbiyat al-dlamir) dan
memperbaiki moral manusia.[4]
(QS.
Al-Baqarah : 153)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ
وَ الصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْن
"Wahai orang-orang yang beriman ! Mohonlah pertolongan dengan sabar
dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (ayat 153).
Maksud ini adalah maksud yang
besar. Suatu cita-cita yang tinggi. Menegakkan kalimat Allah, memancarkan
tonggak Tauhid dalam alam. Membanteras perhambaan diri kepada yang selain
Allah. Apabila langkah ini telah dimulai, halangannya pasti banyak, jalannya
pasti sukar. Bertambah mulia dan tinggi yang dituju, bertambah sukarlah
dihadapi. Oleh sebab itu dia meminta semangat baja, hati yang teguh dan
pengorbanan-pengorbanan yang tidak mengenal lelah. Betapapun mulianya
cita-cita, kalau hati tidak teguh dan tidak ada ketahanan, tidaklah maksud akan
tercapai. Nabi-nabi yang dahulu daripada Muhammad s.a.w: semuanya telah
menempuh jalan itu dan semuanya menghadapi kesulitan.
Kemenangan mereka hanya pada kesabaran. Maka
kamu orang yang telah menyatakan iman kepada Muhammad wajiblah sabar, sabar
menderita, sabar menunggu hasilnya apa yang dicita-citakan. Jangan gelisah
tetapi hendaklah tekap hati.
Sampai seratus satu kali kalimat sabar tersebut
dalam al-Quran. Hanya dengan sabar orang dapat mencapai apa yang dimaksud.
Hanya dengan sabar orang bisa mencapai derajat Iman dalam perjuangan. Hanya dengan sabar
menyampaikan nasihat kepada orang yang lalai. Hanya dengan sabar kebenaran
dapat ditegakkan.
(QS. Al-Baqarah : 238-239)
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_Ìsù ÷rr& $ZR$t7ø.â ( !#sÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2ø$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? cqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ
Artinya : “peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat
wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (238)
“jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil
berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah
Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui.”(239)
Allah Ta’ala memerintahkan untuk memelihara semua shalat pada
waktunya masing-masing, memelihara ketentuannya dan kamu mengerjakan-nya tepat
pada waktunya. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari
Ibnu Masud, ia menceritakan: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah, ‘Amal
apakah yang paling utama?’ Beliau menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ Lalu
kutanyakan lagi: ‘Kemudianapa lagi? Beliau menjawab: ‘Jihad di jalan Allah.’
‘Kemudian apa lagi?’ tanyaku lebih lanjut. Beliau menjawab: ‘Berbuat baik
kepada ibu bapak.’” Ibnu Masud mengatakan: “Semua itu disampaikan oleh
Rasulullah saw. kepadaku. Dan seandainya aku menambahkan pertanyaan, niscaya
beliau akan menambah pula jawabannya.”
Allah swt. memberi kekhususan dengan memberikan penekanan pada
shalat wustha. Para ulama, baik Salaf maupun Khalaf berbeda pendapat, tentang
apa yang dimaksud dengan shalat wustha di sini.
C.
Asbabun Nuzul Ayat yang Menjelaskan Tentang Shalat
(QS.
Al-Baqarah : 153)
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ
وَ الصَّلاَةِ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْن
"Wahai orang-orang yang beriman ! Mohonlah pertolongan dengan sabar
dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (ayat 153).
Lebih 25 tahun Ya'kub sabar menunggu pulang
anaknya yang hilang, sampai berputih mata; akhirnya anaknya Yusuf kembali juga.
Tujuh tahun Yusuf menderita penjara karena fitnah; dengan sabarnya dia jalani
nasibnya; akhirnya dia dipanggil buat menjadi Menteri Besar.
Bertahun-tahun Ayub menderita penyakit sehingga
tersisih dari anak isteri; akhirnya penyakitnya disembuhkan Tuhan dan setelah pulang ke rumah didapatinya anak
yang 10 telah menjadi 20, karena semua sudah kawin dan sudah beranak pula.
Ibrahim dapat menyempurnakan kalimat-kalimat ujian Tuhan karena sabar.
Demikianlah Musa dengan Bani-Israil. Ismail membangun angkatan Arab yang baru.
Isa Almasih dengan Hawariyin semuanya dengan sabar.
Ada Nabi yang nyaris kena hukuman karena tidak
sabar; yaitu Nabi Yunus. Ditinggalkannya kaumnya karena seruannya tidak
diperdulikan. Maka buat melatih jiwa dia ditakdirkan masuk perut ikan beberapa
hari lamanya. Tetapi keluar dari sana dia membangun diri lagi dengan kesabaran.[5]
(QS. Al-Baqarah : 238-239)
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz »w$y_Ìsù ÷rr& $ZR$t7ø.â ( !#sÎ*sù ÷LäêYÏBr& (#rãà2ø$$sù ©!$# $yJx. Nà6yJ¯=tæ $¨B öNs9 (#qçRqä3s? cqãKn=÷ès? ÇËÌÒÈ
Artinya : “peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat
wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.” (238)
“jika kamu dalam Keadaan takut (bahaya), Maka Shalatlah sambil
berjalan atau berkendaraan. kemudian apabila kamu telah aman, Maka sebutlah Allah
(shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum
kamu ketahui.”(239)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah shalat
shubuh di masjid Bashrah, lalu ia membaca qunut sebelum ruku’. Dan ia
mengatakan; “Inilah shalat wustha yang, disebutkan Allah dalam kitab-Nya:
haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa quumuu lillaaHi qaanitiin
(“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha. berdirilah karena
Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”)
Masih menurut Ibnu Jarir, dari Jabir bin Abdullah, ia mengatakan,
“Shalat wustha adalah shalat Shubuh.” Juga diriwayatkan Ibnu Abi Hatim, dari
Ibnu Umar, Abu Umamah, Anas, Abu Aliyah, Ubaid bin Umair, Atha’ al-Khurasani,
Mujahid, Jabir bin Zaid, Ikrimah, dan Rabi’ bin Anas. Dan itu pula yang
ditetapkan Imam Syafi’i rahimahullahu berdasarkan pada firman Allah Ta’ala: wa
quumuu lillaaHi qaanitiin (“Berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan
khusyu.”) Menurutnya, qunut itu dibaca pada shalat Subuh.
Ada juga yang mengatakan bahwa shalat wustha adalah shalat Dhuhur.
Imam Ahmad meriwayatkan, dari Zaid bin Tsabit, ia menceritakan, Rasulullah saw.
pernah mengerjakan shalat dhuhur pada tengah hari setelah matahari tergelincir.
Beliau belum pernah mengerjakan suatu shalat yang lebih menekankan kepada para
sahabatnya dari shalat tersebut, lalu turunlah ayat: haafidhuu ‘alash shalaati
wash shalaati wusthaa wa quumuu lillaaHi qaanitiin.
Dan Zaid bin Tsabit ra. mengatakan: “(Karena) sesungguhnya sebelum
shalat Zhuhur itu ada dua shalat (yaitu shalat isya dan shubuh) dan sesudahnya
pun ada dua shalat (yaitu ashar dan maghrib).”
Hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Dawud dalam bukunya Sunana
Abi Dawud, dari Syu’bah. Yang demikian itu juga menjadi pendapat Urwah bin Zubair,
Abdullah bin Syidad bin al-Haad, dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah
rahimahullahu.
Menurut pendapat lain bahwa shalat wustha itu adalah shalat Ashar.
At-Tirmidzi dan Baghawi rahimahullahu mengatakan, itu adalah pendapat terbanyak
dari ulama kalangan sahabat. Al-Qadhi al-Mawardi mengatakan, hal tersebut
merupakan pendapat mayoritas tabi’in, sedangkan al-Hafizh Abu Umar bin Abdul
Barr mengatakan: “Ini merupakan pendapat mayoritas ahlul atsar dan madzhab
Ahmad bin Hanbal.” Lebih lanjut al-Qadhial-Mawardi dan asy-Syafi’i mengatakan,
Ibnu Mundzir mengemukakan: “Dan itulah yang shahih dari Abu Hanifah, Abu Yusuf,
dan Muhammad, dan menjadi pilihan Ibnu Habib al-Maliki rahimahullahu.”
Beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ali, ia berkata, Rasulullah pernah
bersabda pada peristiwa Ahzab: “Mereka (orang-orang kafir) telah menyibukkan
kami dari shalat wustha, yaitu shalat Ashar. Semoga Allah memenuhi hati dan
rumah mereka dengan api.” Kemudian beliau mengerjakannya di antara Maghrib dan
Isya’.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari dan
Muslim), Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasa’i dan beberapa penulis kitab al-Musnad,
as-Sunan dan ash-Shahih. Hal itu diperkuat dengan perintah untuk memelihara
shalat tersebut.
Dan dalil lainnya ialah sabda Rasulullah dalam hadits shahih
riwayat az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya, bahwa Rasulullah pernah bersabda:
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat Ashar, maka seakan-akan ia telah dirampas
keluarga dan hartanya.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Nadrah al-Ghifari, ia
menceritakan, Rasulullah pernah mengerjakan shalat Ashar bersama kami di salah
satu lembah yang bernama al-Hamish, kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya
shalat ini pernah ditawarkan kepada orang-orang sebelum kalian, namun mereka
menyia-nyiakannya. Ketahuilah, barangsiapa mengerjakannya, maka akan
dilipatgandakan pahalanya dua kali lipat. Dan ketahuilah, tidak ada shalat
setelahnya hingga kalian melihat saksi (Matahari tenggelam, alam mulai gelap.)”
Demikian hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dan an-Nasa’i.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, dari Abu Yunus, seorang budak
Aisyah, ia menceritakan, Aisyah pernah menyuruhku menulis sebuah mushaf, ia
menuturkan: “Jika sudah sampai pada ayat: haafidhuu ‘alash shalaati wash
shalaati wusthaa (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha”)
maka beritahu aku.” Ketika sampai pada ayat tersebut, aku pun memberitahunya,
lalu beliau mendiktekan kepadaku: haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati
wusthaa wa shalaatil ‘ashri wa quumuu lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua
shalat, dan peliharalah shalat wustha, yaitu shalat Ashar dan berdirilah karena
Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu’.”) Aisyah menuturkan, aku mendengarnya
dari Rasulullah saw. Diriwayatkan juga oleh Imam Malik, dari Zaid bin Aslam,
dari Amr bin Rafi’, ia menceritakan: “Aku pernah menulis sebuah mushaf untuk
Hafshah, isteri Nabi, lalu Hafshah berkata: ‘Jika sudah sampai pada ayat ini:
haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa (“Peliharalah semua shalat, dan
peliharalah shalat wustha”) maka beritahukanlah aku.” Ketika sampai ayat
tersebut, aku pun memberitahukannya, lalu Hafshah mendiktekan kepadaku:
haafidhuu ‘alash shalaati wash shalaati wusthaa wa shalaatil ‘ashri wa quumuu
lillaaHi qaanitiin (“Peliharalah semua shalat, dan peliharalah shalat wustha,
yaitu shalat Ashar dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan
khusyu’.”)
Pertama, jika hal itu diriwayatkan dengan anggapan bahwa ia
merupakan kalimat berita, maka hadits Ali berkedudukan lebih shahih dan lebih
jelas darinya. Karena kemungkinan huruf “wawu” (dan) dalam ayat tersebut
berkedudukan sebagaii “wawu zaidah” (wawu tambahan), seperti firman Allah yang
artinya: “Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an, (supaya jelas
jalan orang-orang shaleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang
berdosa.” (QS. Al-An’aam: 55). Dan juga firman-Nya yang artinya: “Dan
demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang
terdapat) dilangit dan di bumi. Dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu
termasuk orang-orang yang yakin.” (QS. Al-An’ aam: 75).
Atau huruf “wawu” (dan) pada ayat itu berkedudukan untuk
menghubungkan dan bukan dzat. Misalnya adalah finnan Allah swt. berikut ini:
“Tetapi ia adalah Rasulullah saw. dan penutup para nabi.” (Al-Ahzaab: 40). Juga
firman-Nya yang lain: “Sucikanlah nama Rabbmu yang Mahatinggi, yang menciptakan
dan yang menyempurnakan (ciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar
(masing-masing) serta memberi petunjuk, dan yang menumbuhkan rumput-rumputan.”
(QS. Al-A’la: 1-4). As-Sunnah telah menetapkan bahwa shalat wustha adalah
shalat Ashar. Maka jelaslah pengertian itu kembali kepadanya.
Firman Allah swt. yang selanjutnya: wa quumuu lillaaHi qaanitiin
(“Dan berdirilah karena Allah [dalam shalatmu] dengan khusyu.”) Yakni dengan
merendahkan diri dan tenang di hadapan-Nya. Yang demikian itu mengharuskan
tidak berbicara dalam shalat, karena bertentangan dengan kekhusyu’an. Oleh
karena itu’, tatkala tidak menjawab salam Ibnu Mas’ud, karena beliau sedang
menjalankan shalat, beliau memberikan alasan dengan bersabda: “Sesungguhnya
dalam shalat itu benar-benar terdapat kesibukan.” (Muttafaqun alaih).
Sedangkan dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan, bahwa Rasulullah
saw. pernah bersabda kepada Mu’awiyah bin Hakam al-Sulami ketika ia berbicara
dalam shalat: “Sesungguhnya di dalam shalat ini tidak diperbolehkan sedikit pun
dari pembicaraan manusia. Shalat itu adalah tasbih, takbir, dan dzikir kepada
Allah.”
Firman Allah Ta’ala selanjutnya: fa in khiftum fa rijaalan au
rukbaanan fa idzaa amintum fadzkurullaaHa kamaa ‘allamakum maa lam takuunuu
ta’lamuun (“Jika kamu dalam keadaan takut [bahaya], maka shalatlah sambil
berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah
Allah [shalatlah] sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang
belum kamu ketahui.”)
Ketika Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa
memelihara semua shalat dan menjalankan ketentuan-ketentuannya serta memberikan
penekanan padanya, Dia menyebutkan keadaan di mana seseorang tidak dapat
mengerjakan shalat secara benar dan sempurna, yaitu dalam keadaan perang dan
pertempuran sengit. Dia berfirman: fa in khiftum fa rijaalan au rukbaanan
(“Jika kalian dalam keadaan takut [bahaya], maka shalatlah sambil berjalan atau
berkendaraan.”) Artinya, kerjakan shalat dalam keadaan bagaimanapun juga, dalam
keadaan berjalan maupun naik kendaraan, baik menghadap kiblat maupun
membelakanginya. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Malik, dari Nafi’, bahwa
Ibnu Umar apabila ditanya mengenai shalat khauf, maka ia menggambarkannya dan
kemudian berkata: “Jika rasa takut lebih mencekam daripada itu, mereka
mengerjakan shalat sambil berjalan kaki atau menaiki kendaraan, dengan
menghadap kiblat ataupun tidak.”
Nafi’ mengatakan, aku tidak mengetahui Ibnu Umar menyebutkan hal
itu melainkan dari Nabi saw. Hadits tersebut juga diriwayatkan Imam Bukhari,
dan lafadz di atas adalah dari Imam Muslim.
Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan hal yang sama atau yang
mendekati hal itu, dari Ibnu Umar, dari Nabi saw.
Sedangkan menurut riwayat Imam Muslim, dari Ibnu Umar, ia
mengatakan, “Jika rasa takut lebih mencekam daripada itu, maka shalatlah dalam
keadaan menaiki kendaraan atau berdiri dengan menggunakan isyarat.”
Dan dalam hadits Abdullah bin Unais al Juhani, disebutkan, ketika
ia diutus oleh Rasulullah untuk membunuh Khalid bin Sufyan, pada saat itu ia
menghadap ke Arafah. Ketika ia sedang menghadap ke Arafah, datang waktu shalat
Ashar. Ia mengatakan, “Aku khawatir kehabisan waktu Ashar, maka aku pun shalat
dengan menggunakan isyarat.” Secara lengkap, hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad
dan Abu Dawud dengan isnad jayyid.
Hal ini merupakan keringanan dari Allah, yang diberikan kepada
hamba-hamba-Nya dan Dia lepaskan semua beban dan belenggu dari diri mereka.
Mengenai apa yang telah dinashkan, Imam Ahmad berpendapat bahwa
shalat khauf itu kadangkala dikerjakan dengan satu rakaat saja, jika antara dua
pasukan sedang bertempur sengit. Dalam keadaan seperti itulah berlaku hadits
yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ibnu Jarir,
dari Abu Awanah al-Wadhah bin Abdullah al-Yasykuri. Imam Muslim, Nasa’i, dan
Ayub bin A’idz menambahkan, keduanya dari Bakir bin al-Akhnas al-Kufi, dari
Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, “Allah Ta’ala mewajibkan shalat
melalui ucapan Nabi kalian dalam keadaan normal empat raka’at, dalam perjalanan
(musafir) dua rakaat, dan dalam keadaan takut (khauf) satu rakaat.”
Dalam bab “Ash-Shalatu ‘inda munahadhatil hushun wa liqa’il aduww.
“(Shalat pada saat menyerbu benteng dan bertemu musuh) Imam al-Bukhari
me-riwayatkan, al-Auza’i mengatakan, “Jika pertempuran sudah mulai dan mereka
tidak sanggup mengerjakan shalat, maka mereka mengerjakannya dengan menggunakan
isyarat, masing-masing orang mengerjakannya sendiri-senditi. Dan jika mereka
tidak mampu menggunakan isyarat, mereka mengakhirkan shala tsehingga
pertempuran berakhir dan keadaan tenang. Setelah itu mereka baru mengerjakan
shalat dua rakaat. Dan jika mereka tetap tidak mampu melakukan hal itu, maka
mereka akan mengerjakan satu rakaat dan dua sujud. Dan jika tidak mampu juga,
karena takbir saja tidak cukup bagi mereka, maka mereka mengakhirkannya, sampai
keadaan aman.”
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Makhul. Anas bin Malik
mengatakan: “Aku pernah mengikuti penyerangan benteng Tustar pada saat sinar
fajar muncul, dan api pertempuran semakin sengit, sedang mereka tidak dapat
mengerjakan shalat, dan kami pun tidak mengerjakan shalat kecuali setelah siang
hari. Kemudian kami segera mengerjakannya, saat itu kami bersama Abu Musa, lalu
diberikan kemenangan kepada kami.” Lebih lanjut Anas bin Malik mengatakan:
“Dunia dan isinya tidak menggembirakanku lebih dari shalat ketika itu.”
Demikian lafazh Imam al-Bukhari. Kemudian hal itu diperkuat dengan
hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. mengakhirkan shalat Ashar sampai
matahari tenggelam pada peristiwa Khandaq karena alasan perang. Juga dengan
sabda Rasulullah yang disampaikan setelah itu kepada para sahabatnya ketika mereka
dipersiapkan untuk berangkat ke Bani Quraidzah: “Janganlah ada seorang pun dari
kalian yang mengerjakan shalat Ashar, kecuali setelah sampai di Bani Quraidzah.”
(Muttafaqun `alaih).[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologi, ulama memiliki keragaman pendapat mengenai asal
kata الصلاة
. sebagian di antara mereka berpendapat bahwa shalat berarti الركوع والسجود, itulah
sebabnya di dalam al Qur’an ada beberapa ayat yang memerintahkan shalat –utamanya
shalat berjama’ah- menggunakan term ruku’ dan sujud. Shalat juga berarti الدعاء والتبريك والتمجيد (doa, memohonkan keberkahan dan memulikan).
Adapun shalat menurut istilah atau terminologi maka ditemukan
banyak defenisi yang disampaikan ulama, hanya saja defenisi-defenisi tersebut
tampaknya sama sekalipun pengungkapannya berbeda yaitu :التعبُّدُ للَّهِ تعالى بأقوال وأفعال معلومة، مفتتَحة بالتَّكبير،
مختتَمة بالتَّسليم yang
berarti bahwa shalat adalah bentuk penyembahan atau peribadatan kepada Allah
melalui beberapa bacaan dan gerakan tertentu yang diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam.
Q.S. Al-Hajj : 77
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãè2ö$# (#rßàfó$#ur (#rßç6ôã$#ur öNä3/u (#qè=yèøù$#ur uöyø9$# öNà6¯=yès9 cqßsÎ=øÿè? ) ÇÐÐÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah
kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan. (Q.S. Al-Hajj : 77)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hamdani. Tafsir Ahkam 1. Nora Media Enterprise. Kudus.
2010.
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin. FIQIH MADZHAB SYAFI’I. CV PUSTAKA SETIA. Bandung. 2000.
Muhammad Al-Muqaddam. KEUTAMAAN DAN 1001 ALASAN KENAPA HARUS
SHALAT. AQWAM. Solo. 2007.
Muhammad Amin Suma. Tafsir Ahkam 1. Pt Logos Wacana Ilmu.
Jakarta. 1997.
Rif’at Syauqi Nawawi. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh. PARAMADINA. Jakarta Selatan. 2002.
[1] Ahmad Hamdani,
Tafsir Ahkam 1, Nora Media Enterprise, Kudus, 2010, hal. 135-138
[2] Ibnu Mas’ud
dan Zainal Abidin, FIQIH MADZHAB SYAFI’I, CV PUSTAKA SETIA, Bandung,
2000, hlm. 23-25
[3] Muhammad
Al-Muqaddam, KEUTAMAAN DAN 1001 ALASAN KENAPA HARUS SHALAT, AQWAM, Solo,
2007, hlm. 15-18
[4] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir
Muhammad Abduh, PARAMADINA, Jakarta Selatan, 2002, hlm. 159-160
[5] Muhammad Amin
Suma, Tafsir Ahkam 1, Pt Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, Hal. 25-27
[6] Muhammad Amin
Suma, Ibit. Hal. 38-40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar