Senin, 18 September 2017

RIBA



MAKALAH RIBA
BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbahasa dan bernegara selalu berhubungan dengan orang lain. Penting bagi seseorang untuk mengetahui dan memahami etika dan hukum  dalam menjalankan interaksinya sehari-hari terutama dalam hal bermu’amalah.
Dalam islam, mu’amalah merupakan suatu hal yang penting atau juga disebut sendi kehidupan orang muslim. Apabila kita perhatikan masa sekarang, jarang sekali orang yang memperhatikan transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam, apakah transaksi yang mereka lakukan sudah sesuai dengan hukum islam apa belum? Mereka tak peduli tentang itu. Bahkan banyak dari mereka lebih mengfokuskan transaksi yang mempunyai prospek keuntungan semata, mereka hanya mempertimbangkan untung dan rugi saja bukan halal dan haramnya transaksi tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku riba ternyata sudah membudaya. Riba merupakan pendapatan yang diperoleh secara tidak adil. Riba telah berkembang sejak zaman jahiliyyah hingga sekarang ini. Sejak datangnya Islam di masa Rasulullah SAW, riba telah dilarang, namun karena sudah mendarah daging, banyak orang yang lupa akan larangan riba. Maka dari itu untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita akan hukum-hukum bertransaksi, akan kami bahas dalam makalah ini. Karena perlu adanya pemahaman yang luas, agar kita tidak terjerumus dalam riba. Karena riba menyebabkan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari riba?
2.      Bagaimana dasar hukum larangan riba?
3.      Bagaimana jenis-jenis riba?
4.      Bagaimana prinsip-prinsip riba?
5.      Bagaimanakah dampak negative riba?
6.      Bagaimana riba pada bunga bank?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian riba.
2.      Untuk mengetahui dasar hukum larangan riba.
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis riba.
4.      Untuk mengetahui prinsip-prinsip riba.
5.      Untuk mengetahui dampak negative riba.
6.      Untuk mengetahui riba pada bunga bank.

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Riba
       Riba (الربا) secara bahasa berarti tambahan. Secara linguistik berarti tumbuh berkembang, meningkat, dan membesar.[1] Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Menurut terminologi, riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi, baik tambahan itu berasal dari dirinya, maupun berasal dari luar berupa imbalan. Pada fatwa MUI tahun 2004, mendefinisikan riba yaitu tambahan (ziyadah) yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran, yang diperjanjikan sebelumnya. Jadi riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
       Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan riba. Perbedaan ini lebih dipengaruhi penafsiran atas pengalaman masing-masing ulama mengenai riba didalam konteks hidupnya. Sehingga walau berbeda dalam definisinya, tetapi substansinya sama.[2]
       Maksud riba dalam ayat al-Qur’an menurut Ibn al-‘Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an, sebagaimana yang dikemukakan oleh Syafi’i Antonio yang artinya:
“Pengertian riba secara bahasa ialah tambahan, sedangkan yang dimaksud dengan riba dalam ayat ialah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
       Maksud transaksi pengganti atau penyeimbang adalah transaksi perdagangan atau komersial yang membenarkan adanya tambahan tersebut secara adil seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil. Dalam transaksi sewa, penyewa membayar uang sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomi suatu barang karena pemanfaatan oleh penyewa. Dalam jual beli, pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga halnya bagi hasil dalam sutau perkongsian, masing-masing berhak mendapatkan keuntungan seperti juga menanggung kerugian karena pernyataan modal.
Berbeda halnya dengan proses pinjam meminjam yang mana tambahan itu tidak ada unsur penyeimbang yang diterima oleh peminjam, kecuali karena faktor kesempatan dan masa yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Ketidak adilan yang berlaku disini ialah si peminjam diwajibkan untuk selalu untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut seperti yang berlaku pada pola pinjam-meminjam dalam bank konvensional.[3]
       Ab. Mumin Ab. Ghani menyatakan bahwa ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam memberikan definisi riba. Ada yang memandang dari sudut utang piutang, jual beli, dan pandangan secara umum. Ulama tafsir memberikan pengertian yang berbeda dengan ulama fiqh, bahkan sesama ulama fiqh juga memberikan definisi yang berbeda.
       Fuqaha Hanabilah mendefinisikan riba dengan ungkapan yang artinya: “Melebihkan sesuatu dan menangguhkan sesuatu tertentu, dengan sesuatu.” Sedangkan Madzhab Syafi’i memberikan pengertian riba dengan rumusan definisi yang artinya: “Akad atas kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesamaan ukuran sesuai dengan ketentuan syara’, baik saat terlaksananya akad, atau adanya masa penangguhan dalam kedua-dua atau salah satu dari ganti rugi atau kompensasi tersebut.”[4]


B.     Dasar Hukum Pelarangan Riba
1.      Agama Yahudi
Umat Yahudi dilarang mempraktekan pengambilan riba sebagaimana tercantum  dalam kitab perjanjian lamanya dan undang-undang Talmud, salah satu isi perjanjian tersebut adalah “Janganlah engkau menabungkan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dibungakan (Kitab Deuteronomy (ulangan) pasal 23 ayat 19).[5]
Dalam perjanjian lama keharaman riba dibagi dalam dua perkara. Pertama, mengambil kelebihan karena urusan hutang. Kedua, tambahan dalam suatu perdagangan dengan maksud mengambil kelebihan atau keuntungan.
2.      Agama Kristen
Agama Kristen, dalam Perjanjian Barunya tidak menyebutkan permasalahan bunga secara jelas. Namun, sebagai kaum Kristiani menganggap larangan riba terdapat dalam kitab Injil Lukas, salah satu isi dari kitab tersebut adalah jika kamu meminjamkan uang kepada orang yang kamu mengharapkan bayaran darinya, apakah jasamu? Tapi kamu lakukanlah kebaikan – kebaikan dan pinjamkanlah tanpa mengharapkan pengembaliannya. Dengan begitu pahalamu berlimpah ruah.
Agama Masehi menuntut agar si pemiutang hanya mengambil balik sejumlah yang dipinjamkannya tanpa kelebihan atau kurang. Bahkan para paderinya mengecam keras pengamalan riba sebagaimana yang dinyatakan Scobar bahwa riba bukan saja  maksiat tetapi mulhid yakni murtad yang keluar dari agama.[6]
3.      Yunani dan Romawi
Para ahli filsafat Yunani mengutuk orang-orang Romawi yang mempratekkan pengambilan bunga. Diantaranya adalah Plato, yang mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan. Pertama, bunga menyebabkab perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Sedangkan penolakan ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan bunga mempunyai alasan yang hampir sama dengan filsafat Yunani. Cicero member nasihat kepada anaknya agar menjahui dua pekerjaan yaitu memungut cukai dan member pinjaman dengan bunga.
Ringkasnya para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji.[7]
4.      Agama Islam
Menurut ajaran Islam, riba merupakan perbuatan orang-orang yang tidak beriman dan sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman. Islam membenarkan pengembangan uang dengan jalan perdagangan. Namun, Islam juga menutup pintu bagi siapapun yang mengembangkan uangnya dengan jalan riba. Berikut ini merupakan gambaran tahapan turunnya ayat riba berdasarkan waktu dan kronologis.
1)      Al-Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an diturunkan dalam empat tahap :
a.       Tahap pertama : QS. Ar-Rum : 39
Dalam tahap ini mulai dikemukakan masalah riba dalam praktik ekonomi, agar masyarakat sadar bahwa praktik riba bukan sesuatu hal untuk menumbuhkan kekayaan.
وَمَآءاتَيْتُمْ مِّنْ رِّبًا لِّيَرْ بُوْاْفِيْ آمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوْاعِنْدَ اللّهِ وَمَآاتَيْتُمْ مِّنْ زَكوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللّهِ فَاُولئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْن
Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).
a.         Tahap kedua : Qs. An-Nisa : 160 – 161
Dalam ayat ini, mulai dijelaskan bahwa riba diharamkan dalam hukum agama terdahulu khususnya Yahudi.
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِيْنَ هَادُوْاحَرَّمْنَاعَلَيْهِمْ طَيِّبتٍ اُحِلَّتْ لَهُمْ وَ بِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيْلِ اللّهِ كَثِيْرًا
Artinya : Karena kezaliman orang – orang Yahudi, kami haramkan bagi mereka makanan yang baik – baik yang (dahulu) pernah dihalalkan, dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah.
وَّاَخْذِهِمُ الرِّبواوَقَدْنُهُمْ اعَنْهُ وَاَكْلِهِمْ اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَاَعْتَدْنَالِلْكفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًا
Artinya : Dan karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih.
b.         Tahap ketiga : Qs. Al-Imran : 130
Ayat ini menjelaskan pelarangan riba secara jelas dan tegas dan pada tahap ini praktek riba mulai dilarang.
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَتَأكُلُوا الرِّبوا اضْعَافًا مُّضعَفَةً وَاتَّقُوااللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونْ
Artinya : Wahai orang – orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
c.         Tahap empat : Qs. Al-Baqarah : 278 – 279
Tahap ini merupakan tahap terakhir, di sini pelarangan riba dipertegas lagi dengan peringatan keras, barang siapa yang mempraktekkan riba akan diperangi oleh Allah dan Rasulnya.
يآَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوااتَّقُوا اللّهَ وَذَرُوْامَابَقِيَ مِنَ الرِّبوا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Artinya : Wahai orang – orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.
      فَاِنْ لَّمْ تْفْعَلُوْا فَأْذَ نُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ  اللّهِ وَرَسُوْلِه وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُم رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْ لاَتَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ
Artinya : Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).[8]
2). Al-Hadits
Dalam hadits-hadits Rasulullah saw banyak mengemukakan larangan riba. Dalam berbagai bentuk ungkapan :
a.              Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhori dari Jabir. Beliau berkata :
لَعَنَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَآ وَمُوْ كِلَهْ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ : هُمْ سَوَاءُ
Artinya : Rasulullah saw mengutuk orang yang memberi dan menerima riba, penulis dan saksi – saksinya. Dia bersabda mereka semuanya sama saja.
b.             Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda:
اِجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا رَسُولَ اللّهِ وَمَا هُنَّ قَلَ الشِّرْكُ بِاللّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَدَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَافُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّولِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْ الْفَافِلاَتِ
Artinya : Jauhilah tujuh hal yang membinasakan yaitu pertama melakukan kemusyrikan terhadap Allah (kedua) sihir (ketiga) membunuh jiwa yang telah diharamkan kecuali dengan cara yang haq (keempat) memakan riba (kelima) makan harta anak yatim (keenam) melarikan diri dari hari pertemuan dua pasukan (ketujuh) menuduh zina perempuan baik – baik yang tidak tahu – menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.
c.              Hadits lain yang diriwayatkan Muttafaq’alaih dari Abi Sa’id al-Khudry, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
لاتبيعوا الذهب بالذهب إلا مثلا بمثل ولاتشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا الورق بالورق إلا مثلا بمثل، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا منها غائبا بناجر
Artinya : Jangan menukarkan emas dengan emas dan perak dengan perak melainkan dengan kuantitas yang sama dan janganlah menukarkan suatu barang dengan barang yang sama melainkan dengan kuantitas yang sama, dan janganlah menukarkan barang yang ada dengan barang yang tidak ada.
‘Ali Ahmad al-Jurjawi melihat bahwa riba akan mengakibatkan :
a.         Adanya eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya kepada si miskin.
b.         Uang yang dimiliki si kaya tidak disalurkan kepada hal – hal yang produktif, misalnya pertanian, industri, dan sebagainya.
c.         Mengakibatkan kebangkrutan usaha dan pada akhirnya bisa menyebabkan konflik jika si peminjam tidak sanggup mengembalikkan pinjamannya. [9]
Dari berbagai alasan diatas dapat diartikan bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang yang kuat dengan suatu dampak yang kurang baik dalam kehidupan bermasyarakat yaitu yang kaya bertambah kaya sedang yang miskin semakin miskin. Hal ini akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat akan kelas lain yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan dengki dan akan berakibat berkobarnya diantara anggota masyarakat serta membawa kepada pemberontakan oleh golongan ekskrimis dan kelompok tertindas.[10]
C.              Jenis – Jenis Riba
                        Secara garis besar Riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang (yad) dan riba jual-beli (bai’). Riba hutang-piutang ( yad) terbagi menjadi dua, yaitu: riba qardh dang riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli (bai’) terbagi menjadi dua, yaitu: riba fadhl dan riba nasi’ah.
1.    Riba hutang-piutang ( yad ):
a.              Riba qardh yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang  ( muqtaridh).
b.             Riba jahiliyyah yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.[11]
2.    Riba jual-beli (bai’)
               Ada beberapa bentuk jual-beli yang dilarang oleh Rasulullah karena dapat digolongkan riba seperti jual-beli hewan dengan daging (hewan yang sudah mati), jual beli buah basah dan buah kering, dan jual-beli ‘inah.[12]
a.    Riba fadhl yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
b.    Riba nasi’ah yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.[13]
D.    Prinsi-prinsip Riba
           Prinsip-prinsip untuk menentukan adanya riba didalam transaksi kredit atau barter yang diambil dari sabda rasulullah.
1.    Pertukaran barang yang sejenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara kredit ataupun tunai dan mengandung unsur riba.
2.    Pertukaran barang yang sama jenis dan jumlahnya, tetapi berbeda nilainya atau harganya dan dilakukan secara kredit serta mengandung unsur riba. Pertukaran semacam ini akan terbebas dari unsur riba apabila dijalankan dari tangan ketangan secara tunai.
3.    Pertukan barang yang sama nilai dan harganya tetapi berbeda jenis dan kuantitasnya serta dilakukan secara kredit dan mengandung unsur riba. Tetapi apabila pertukaran ini dilakukan dari tangan ketangan secara tunai akan terbebas darii riba.
4.    Pertukaran yang berbeda jenis, nilainya, dan  kuantitasnya, baik secara kredit dari tangan ketangan, terbebas dari riba, diperbolehkan.
5.    Jika barang itu campuran yang mengandung jenis dan nilainya, pertukaran dengan kuantitas yang berbeda baik secara kredit maupun dari tangan ketangan terbebas dari riba sehingga sah.
6.    Didalam perekonomian yang berasaskan uang, harga barang ditentukan dengan standar mata uang suatu negara, pertukaran suatu barang yang sama dengan kuantitas berbeda, baik secara kredit maupun tangan ketangan, keduanya terbebas dari riba, dan oleh karenanya diperbolehkan.[14]

E.     Dampak Negatif Riba
1.      Riba adalah suatu perbuataan mengambil harta kawannya tanpa ganti.
2.      Bergantung pada riba dapat menghalangi manusia dari kesidukan bekerja.
3.      Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma’ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam
4.      Pada umumnya pemberi piutang adalah orang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu.
            Sesungguhnya riba merupakan salah satu bentuk transaksi yang sangat dilarang oleh islam. Hal ini karena riba itu sendiri membawa dampak negative setidaknya dalam dua aspek meliputi.
a.         Dampak ekonomi
          Dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang, karena salah satu elemen dari penentuaan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapka pada suatu barang.
          Dampak yang lain adalah utang, semakin rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan. Terlebih lagi bila bunga atas utang tersebut dibungakan.
b.         Dampak sosial kemasyarakatan
          Riba merupakan pendapatan yang didapatkan dengan tidak adil karena terdapat pemaksaan mengembalikan pada waktunya, jika melebihi maka akan terdapat tambahan dalam pengembalian hutang atau pinjaman tersebut. Padahal belum tentu peminjam mampu mengembalikan tempat waktu dan membayar kelebihan – kelebihan yang ditentukan.[15]

F.       Riba pada Bunga Bank
     Bunga pada bank adalah suatu hal yang sangat identik dengan sistem operasional perbankan konvensional. Sistem bunga ini telah ada sejak abad ke-16 dan semakin berkembang karena dipengaruhi oleh adanya kebolehan  menerapkan bunga oleh penguasa Vatikan pada akhir tahun 1836. Oleh karena itu, jika praktek bunga tidak diterapkan, maka sistem perbankan tidak akan bergerak dan akhirnya perekonomian tidak akan berkembang.
     Dalam istilah bahasa Inggris, bunga bank lebih populer disebut sebagai interest walaupun ada juga yang menyebutnya sebagai usury. Jadi interest atau bunga merupakan uang yang dikenakan atau dibebankan atau dibayarkan akibat adanya penggunaan uang yang dipinjam berdasarkan kadar tertentu.
     Jika dihubungkan dengan riba, istilah bunga terlihat tidak ada bedanya. Ini dapat dibandingkan dengan pengertian riba, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh beberapa definisi sebelumnya yaitu merupakan suatu akad yang memberikan kompensasi atau ganti rugi akibat penangguhan atau selainnya yang tidak ada ketentuannya pada syara’. Ini berarti dapat disimpulkan bahwa bunga bank itu adalah riba.[16]
     Para ulama tidak mengemukakan pendapat yang sama, ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang tidak mengharamkan dan ada juga yang memandangnya sebagai shubhat.
a.              Pihak yang memandang sebagai shubhat, seperti di Indonesia oleh pendapat Majlis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank kepada nasabah atau sebaliknya termasuk ke dalam shubhat, artinya belum jelas halal atau haramnya. Sesuai dengan petunjuk hadits, umat Islam harus hati-hati menghadapi hal-hal yang shubhat. Oleh karena itu, jika dalam keadaan terpaksa atau hajah (keperluan yang mendesak dan penting), dibolehkan bermuamalah dengan bank yang menggunakan  sistem bunga ala kadar saja.
b.             Bagi yang berpendapat bahwa bunga bank tidak diharamkan dalam Islam sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibrahim Hosen (Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia, pada tahun 80-an), dengan beberapa bentuk dasar pemikiran: pertama, dalam keadaan darurat, bunga bank dibolehkan. Kedua, yang dilarang itu hanya bunga yang berlipat ganda saja, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi hukumnya dibolehkan. Ketiga, bank sebagai lembaga tidak termasuk dalam kategori mukallaf, berarti tidak termasuk ke dalam yang terkena khitab ayat-ayat dan hadits riba.
     Pendapat seperti diatas telah memancing tanggapan dari para ulama seperti Muhammad Syafi’i Antonio, Pakar Ekonomi Islam di Indonesia.
     Menurut Antonio, al-darurah atau juga al-hajah harus diberi batas yang jelas, agar dapat memberi peluang untuk membolehkan sesuatu yang diharamkan. Batas itu harus sesuai dengan garisan metodologi Ushul al- Fiqh, khususnya Qa’idah Fiqhiyyah seperti: darurat harus dibatasi sesuai dengan kadarnya.
     Abu Zahrah memandang dari pandangan berbeda bahwa penggunaan darurat ini dibolehkan pada peringkat individu karena perbuatan meminjam secara riba bukan menjadi pilihannya, tetapi tidak pada peringkat institusi.
     Artinya dalam konteks bunga bank ini, pemanfaatan bunga bank yang dipandang dalam keadaan darurat hanya terbatas pada saat tidak adanya sistem yang tidak menggenakan bunga. Jika sudah ada lembaga keuangan yang tidak menggenakan bunga maka kebolehan pemanfaatan bunga bank akan hilang.[17]
     Sanhuri berpendapat bahwa dalam suatu sistem ekonomi kapitalis, model dimiliki oleh perorangan, lembaga, dan bank-bank, bukan dimiliki oleh pemrintah. Ada kepentingan umum bagi pengusaha untuk mendapatkan modal guna investasi. Selagi ada keperluan untuk mendapatkan modal dengan cara pinjaman dan modal tersebut tidak dimiliki oleh pemerintah, bunga atas modal itu dengan batas rendah dinyatakan halal, sebagai pengecualian. Begitu juga halnya bagi seseorang yang memiliki tabungan hasil kerja kerasnya, ia memiliki kewajiban untuk tidak berbuat dzalim dan juga berhak untuk tidak didzalimi.
     Untuk iku menurut Sanhuri, hukum harus menetapkan batas suku bunga, aturan pembayaran, dan jumlah keseluruhan bunga yang harus dibayarkan sehingga bisa dibuat perkiraan apa yang diperlukan untuk setiap kasus tertentu.[18]
     Ada pendapat yang mengatakan bahwa bank sebagai badan hukum tidak dikenakan hukum taklif tentang riba. Hal ini dibahas dengan lebih mendalam oleh Antonio bahwa pendapat ini mempunyai banyak kelemahan karena menyertakan sejarah yang menunjukkan bahwa tidak benar pada zaman pra Islam tidak terdapat badan hukum sama sekali. Sejarah Romawi, Persia dan Yunani telah menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan dari penguasa dan telah masuk ke dalam lembaran Negara. Jika dilihat pada sudut tingkat kemudharatan, perusahaan dapat melakukan kemudharatan jauh lebih besar berbanding individu.[19]
     Di samping itu, ada pendapat yang memilih bahwa bunga bank dilihat antara pinjaman konsumtif dan produktif. Seorang pakar dari Syria, yaitu Duwalibi, berpendapat bahwa bunga pada pinjaman produktif adalah halal sedangkan bunga pada pinjaman konsumtif adalah diharamkan. Pendapat ini didasarkan dengan pandangan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tentang riba ini turun dalam konteks membebaskan penderitaan kaum miskin, melarat, dan kumpulan masyarakat lemah, serta mereka yang terjerat dengan hutang dan tidak sanggup membayarnya maka haram itu hanya terbatas kepada pinjaman untuk konsumtif.
     Pandangan tersebut menimbulkan bantahan, karena pinjaman-pinjaman yang ada pada zaman pra Islam dan masa pengharaman riba itu adalah berbentuk produktif. Riwayat-riwayat yang ada menunjukkan bahwa sebagian suku biasanya meminjam uang dari suku yang lain untuk perdagangan dan peleburan.[20]
c.         Pandangan mayoritas para ulama dan mufti menyatakan bahwa bunga bank itu ialah riba dan diharamkan, seperti halnya hasil fatwa OKI dalam persidangan Karachi, Pakistan tahun 1970. Hal ini didasari bahwa Islam memberi landasan dalam mengembalikan suatu pinjaman, hanya hutang pokoknya saja yang harus dikembalikan kepada pengkredit. Oleh karena itu, setiap tambahan yang ditetapkan di awal melebihi pokok pinjaman ialah riba.
          Bagaimana halnya apabila pemerintah terlibat dalam sistem bank konvensional itu? Apakah akan merubah status riba pada bunganya?
          Menurut Yusuf, yang dinamakan riba tetap disebut riba walaupun pemerintah berperan sebagai fasilitator industri perbankan. Hal ini akan merangsang orang banyak untuk melakukan riba melalui perbankan konvensional. Langkah yang lebih baik ialah pemerintah mengajak orang banyak untuk melakukan proyek-proyek pemerintah yang sedang dijalankan dan memikul bersama risiko yang ditimbulkan melalui sistem penyertaan.
          Bunga bank dipandang sebagai sesuatu yang membawa kepada ketidak adilan walaupun pemerintah sebenarnya menuntut agar antara pemodal dan pengusaha perlu saling berteman, saling menyokong dan melengkapi (mutual partnership) bukan memberikan prioritas dan kelebihan bagi satu pihak saja.[21]

BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.      Riba adalah kelebihan pembayaran, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi, baik tambahan itu berasal dari dirinya, maupun berasal dari luar berupa imbalan.
2.      Dasar hukum pelangaran riba ada empat yaitu :
1). Agama Yahudi, tercantum  dalam kitab Perjanjian Lamanya dan undang – undang Talmud.
2). Agama Kristen, dalam Perjanjian Barunya tidak menyebutkan permasalahan bunga secara jelas. Namun, sebagai kaum Kristiani menganggap larangan riba terdapat dalam kitab Injil Lukas.
3). Yunani dan Romawi, para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa bunga adalah sesuatu yang hina dan keji.
4). Agama Islam, menurut ajaran Islam, riba merupakan perbuatan orang – orang yang tidak beriman dan sebagai ujian bagi orang – orang yang beriman.
3.      Jenis – jenis riba, secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang (yad) dan riba jual-beli (bai’). Riba hutang-piutang ( yad) terbagi menjadi dua, yaitu: riba qardh dang riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli (bai’) terbagi menjadi dua, yaitu: riba fadhl dan riba nasi’ah.
4.      Prinsi-prinsip riba, prinsip-prinsip untuk menentukan adanya riba didalam transaksi kredit atau barter yang diambil dari sabda Rasulullah.
5.      Dampak negative riba, riba dapat membawa dampak yang tidak baik diantaranya adalah dampak ekonomi dan dampak sosial kemasyarakatan.
6.      Para ulama mengemukakan pendapat yang berbeda tentang hukum riba pada bunga bank, ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang tidak mengharamkan dan ada juga yang memandangnya sebagai shubhat.

DAFTAR PUSTAKA
Iska, Syukri. 2012. Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam Perspektif       Fikih Ekonomi. Yogyakarta : Media Press.

Saeed, Abdullah. 2004. Bank Islam dan Bunga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sumar’in. 2012. Konsep Kelembagaan Bank Syariah. Yogyakarta : Graha Ilmu.



           [1] Syukri Iska, Sistem Perbankan Syariah Di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi, Fajar Media Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 215.
          [2] Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012, hlm. 22.
          [3] Syukri Iska, op.cit., hlm. 215-216.
           [4] Ibid., hlm. 217.
          [5] Sumar’in, op.cit., hlm. 22.
          [6] Syukri Iska, op.cit., hlm. 219-220.
          [7] Sumar’in, op.cit., hlm. 23-24.
          [8] Ibid., hlm. 24-26.
          [9] Syukri Iska, op.cit., hlm. 227- 229.
         [10] Sumar’in, op.cit., hlm. 27. 
         [11] Ibid., hlm. 28.
         [12] Syukri Iska, op.cit., hlm. 232.  
           [13] Sumar’in, op.cit., hlm. 28. 
          [14] Sumar’in, loc.cit.
          [15] Ibid., hlm. 32.
          [16] Syukri Iska, op.cit., hlm. 235-236.  
          [17] Ibid., hlm. 237-239.
          [18] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm.76.
          [19] Syukri Iska, op.cit., hlm. 241.  
          [20] Abdullah Saeed, op.cit., hlm. 78-79.
          [21] Syukri Iska, op.cit., hlm. 244.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar