MAKALAH RIBA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia
merupakan makhluk sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbahasa dan
bernegara selalu berhubungan dengan orang lain. Penting bagi seseorang untuk
mengetahui dan memahami etika dan hukum
dalam menjalankan interaksinya sehari-hari terutama dalam hal bermu’amalah.
Dalam
islam, mu’amalah merupakan suatu hal yang penting atau juga disebut sendi
kehidupan orang muslim. Apabila kita perhatikan masa sekarang, jarang sekali orang
yang memperhatikan transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam, apakah transaksi
yang mereka lakukan sudah sesuai dengan hukum islam apa belum? Mereka tak
peduli tentang itu. Bahkan banyak dari mereka lebih mengfokuskan transaksi yang
mempunyai prospek keuntungan semata, mereka hanya mempertimbangkan untung dan
rugi saja bukan halal dan haramnya transaksi tersebut.
Dalam
kehidupan sehari-hari, perilaku riba ternyata sudah membudaya. Riba merupakan
pendapatan yang diperoleh secara tidak adil. Riba telah berkembang sejak zaman
jahiliyyah hingga sekarang ini. Sejak datangnya Islam di masa Rasulullah SAW,
riba telah dilarang, namun karena sudah mendarah daging, banyak orang yang lupa
akan larangan riba. Maka dari itu untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita
akan hukum-hukum bertransaksi, akan kami bahas dalam makalah ini. Karena perlu
adanya pemahaman yang luas, agar kita tidak terjerumus dalam riba. Karena riba
menyebabkan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
dari riba?
2.
Bagaimana dasar
hukum larangan riba?
3.
Bagaimana jenis-jenis
riba?
4.
Bagaimana
prinsip-prinsip riba?
5.
Bagaimanakah
dampak negative riba?
6.
Bagaimana riba
pada bunga bank?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui
pengertian riba.
2.
Untuk mengetahui
dasar hukum larangan riba.
3.
Untuk mengetahui
jenis-jenis riba.
4.
Untuk mengetahui
prinsip-prinsip riba.
5.
Untuk mengetahui
dampak negative riba.
6.
Untuk mengetahui
riba pada bunga bank.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba
Riba (الربا) secara bahasa berarti tambahan. Secara linguistik berarti
tumbuh berkembang, meningkat, dan membesar.[1]
Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil. Menurut terminologi, riba artinya kelebihan
pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagi salah seorang
dari dua orang yang melakukan transaksi, baik tambahan itu berasal dari
dirinya, maupun berasal dari luar berupa imbalan. Pada fatwa MUI tahun 2004,
mendefinisikan riba yaitu tambahan (ziyadah) yang terjadi karena penangguhan
dalam pembayaran, yang diperjanjikan sebelumnya. Jadi riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara bathil
atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan riba. Perbedaan ini lebih dipengaruhi penafsiran atas pengalaman
masing-masing ulama mengenai riba didalam konteks hidupnya. Sehingga walau
berbeda dalam definisinya, tetapi substansinya sama.[2]
Maksud riba dalam ayat al-Qur’an menurut
Ibn al-‘Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Syafi’i Antonio yang artinya:
“Pengertian
riba secara bahasa ialah tambahan, sedangkan yang dimaksud dengan riba dalam
ayat ialah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti
atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”
Maksud transaksi pengganti atau
penyeimbang adalah transaksi perdagangan atau komersial yang membenarkan adanya
tambahan tersebut secara adil seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau
bagi hasil. Dalam transaksi sewa, penyewa membayar uang sewa karena adanya
manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomi suatu barang
karena pemanfaatan oleh penyewa. Dalam jual beli, pembeli membayar harga atas
imbalan barang yang diterimanya. Demikian juga halnya bagi hasil dalam sutau
perkongsian, masing-masing berhak mendapatkan keuntungan seperti juga
menanggung kerugian karena pernyataan modal.
Berbeda
halnya dengan proses pinjam meminjam yang mana tambahan itu tidak ada unsur
penyeimbang yang diterima oleh peminjam, kecuali karena faktor kesempatan dan
masa yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Ketidak adilan yang
berlaku disini ialah si peminjam diwajibkan untuk selalu untung dalam setiap
penggunaan kesempatan tersebut seperti yang berlaku pada pola pinjam-meminjam
dalam bank konvensional.[3]
Ab. Mumin Ab. Ghani menyatakan bahwa
ulama mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam memberikan definisi riba. Ada
yang memandang dari sudut utang piutang, jual beli, dan pandangan secara umum.
Ulama tafsir memberikan pengertian yang berbeda dengan ulama fiqh, bahkan
sesama ulama fiqh juga memberikan definisi yang berbeda.
Fuqaha Hanabilah mendefinisikan riba
dengan ungkapan yang artinya: “Melebihkan sesuatu dan menangguhkan sesuatu
tertentu, dengan sesuatu.” Sedangkan Madzhab Syafi’i memberikan pengertian riba
dengan rumusan definisi yang artinya: “Akad atas kompensasi tertentu yang tidak
diketahui kesamaan ukuran sesuai dengan ketentuan syara’, baik saat
terlaksananya akad, atau adanya masa penangguhan dalam kedua-dua atau salah
satu dari ganti rugi atau kompensasi tersebut.”[4]
B.
Dasar Hukum
Pelarangan Riba
1.
Agama Yahudi
Umat Yahudi
dilarang mempraktekan pengambilan riba sebagaimana tercantum dalam kitab perjanjian lamanya dan undang-undang
Talmud, salah satu isi perjanjian tersebut
adalah “Janganlah
engkau menabungkan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau
apapun yang dibungakan (Kitab Deuteronomy (ulangan) pasal 23 ayat 19).[5]
Dalam perjanjian lama keharaman riba dibagi
dalam dua perkara. Pertama, mengambil kelebihan karena urusan hutang. Kedua,
tambahan dalam suatu perdagangan dengan maksud mengambil kelebihan atau
keuntungan.
2.
Agama Kristen
Agama Kristen,
dalam Perjanjian Barunya tidak menyebutkan permasalahan bunga secara jelas.
Namun, sebagai kaum Kristiani menganggap larangan riba terdapat dalam kitab
Injil Lukas, salah satu isi dari kitab tersebut adalah jika kamu meminjamkan
uang kepada orang yang kamu mengharapkan bayaran darinya, apakah jasamu? Tapi
kamu lakukanlah kebaikan – kebaikan dan pinjamkanlah tanpa mengharapkan
pengembaliannya. Dengan begitu pahalamu berlimpah ruah.
Agama Masehi
menuntut agar si pemiutang hanya mengambil balik sejumlah yang dipinjamkannya
tanpa kelebihan atau kurang. Bahkan para paderinya mengecam keras pengamalan
riba sebagaimana yang dinyatakan Scobar bahwa riba bukan saja maksiat tetapi mulhid yakni murtad yang
keluar dari agama.[6]
3.
Yunani dan Romawi
Para ahli filsafat
Yunani mengutuk orang-orang Romawi yang mempratekkan pengambilan bunga.
Diantaranya adalah Plato, yang mengecam sistem bunga berdasarkan dua alasan.
Pertama, bunga menyebabkab perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat.
Kedua, bunga merupakan alat golongan kaya untuk mengeksploitasi golongan
miskin. Sedangkan penolakan ahli filsafat Romawi terhadap praktik pengambilan
bunga mempunyai alasan yang hampir sama dengan filsafat Yunani. Cicero member
nasihat kepada anaknya agar menjahui dua pekerjaan yaitu memungut cukai dan
member pinjaman dengan bunga.
Ringkasnya para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa
bunga adalah sesuatu yang hina dan keji.[7]
4.
Agama Islam
Menurut ajaran
Islam, riba merupakan perbuatan orang-orang yang tidak beriman dan sebagai
ujian bagi orang-orang yang beriman. Islam membenarkan pengembangan uang dengan
jalan perdagangan. Namun, Islam juga menutup pintu bagi siapapun yang
mengembangkan uangnya dengan jalan riba. Berikut ini merupakan gambaran tahapan
turunnya ayat riba berdasarkan waktu dan kronologis.
1)
Al-Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an diturunkan dalam empat
tahap :
a.
Tahap pertama : QS. Ar-Rum : 39
Dalam tahap
ini mulai dikemukakan masalah riba dalam praktik ekonomi, agar masyarakat sadar
bahwa praktik riba bukan sesuatu hal untuk menumbuhkan kekayaan.
وَمَآءاتَيْتُمْ
مِّنْ رِّبًا لِّيَرْ بُوْاْفِيْ آمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوْاعِنْدَ اللّهِ
وَمَآاتَيْتُمْ مِّنْ زَكوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللّهِ فَاُولئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْن
Artinya : Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka
tidak bertambah dalam pandangan Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat
yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridhaan Allah, maka itulah orang-orang
yang melipatgandakan (pahalanya).
a.
Tahap kedua : Qs. An-Nisa : 160 –
161
Dalam ayat
ini, mulai dijelaskan bahwa riba diharamkan dalam hukum agama terdahulu
khususnya Yahudi.
فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِيْنَ
هَادُوْاحَرَّمْنَاعَلَيْهِمْ طَيِّبتٍ اُحِلَّتْ لَهُمْ وَ بِصَدِّهِمْ عَنْ
سَبِيْلِ اللّهِ كَثِيْرًا
Artinya :
Karena kezaliman orang – orang Yahudi, kami haramkan bagi mereka makanan yang
baik – baik yang (dahulu) pernah dihalalkan, dan karena mereka sering
menghalangi (orang lain) dari jalan Allah.
وَّاَخْذِهِمُ الرِّبواوَقَدْنُهُمْ اعَنْهُ وَاَكْلِهِمْ
اَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَاَعْتَدْنَالِلْكفِرِيْنَ مِنْهُمْ عَذَابًا
اَلِيْمًا
Artinya : Dan
karena mereka menjalankan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya,
dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Dan kami
sediakan untuk orang-orang kafir di
antara mereka azab yang pedih.
b.
Tahap ketiga : Qs. Al-Imran : 130
Ayat ini
menjelaskan pelarangan riba secara jelas dan tegas dan pada tahap ini praktek
riba mulai dilarang.
ياَيُّهَا
الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَتَأكُلُوا الرِّبوا اضْعَافًا مُّضعَفَةً وَاتَّقُوااللّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونْ
Artinya :
Wahai orang – orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
c.
Tahap empat : Qs. Al-Baqarah : 278 – 279
Tahap ini merupakan tahap terakhir, di sini pelarangan riba dipertegas lagi
dengan peringatan keras, barang siapa yang mempraktekkan riba akan diperangi
oleh Allah dan Rasulnya.
يآَيُّهَا
الَّذِيْنَ امَنُوااتَّقُوا اللّهَ وَذَرُوْامَابَقِيَ مِنَ الرِّبوا اِنْ
كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ
Artinya :
Wahai orang – orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.
فَاِنْ لَّمْ
تْفْعَلُوْا فَأْذَ نُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ
اللّهِ وَرَسُوْلِه وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُم رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْ
لاَتَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ
Artinya : Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari
Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok
hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).[8]
2). Al-Hadits
Dalam hadits-hadits Rasulullah saw banyak
mengemukakan larangan riba. Dalam berbagai bentuk ungkapan :
a.
Hadits yang diriwayatkan oleh
Muslim dan Bukhori dari Jabir. Beliau berkata :
لَعَنَ
رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَآ وَمُوْ كِلَهْ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ، وَقَالَ : هُمْ سَوَاءُ
Artinya : Rasulullah saw mengutuk
orang yang memberi dan menerima riba, penulis dan saksi – saksinya. Dia
bersabda mereka semuanya sama saja.
b.
Hadits yang diriwayatkan Abu
Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda:
اِجْتَنِبُوا
السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا رَسُولَ اللّهِ وَمَا هُنَّ قَلَ الشِّرْكُ
بِاللّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَدَّمَ اللّهُ إِلاَّ
بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَافُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ وَأَكْلُ مَالِ
الْيَتِيمِ وَالتَّولِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْ الْفَافِلاَتِ
Artinya : Jauhilah tujuh hal yang membinasakan yaitu pertama melakukan
kemusyrikan terhadap Allah (kedua) sihir (ketiga) membunuh jiwa yang telah
diharamkan kecuali dengan cara yang haq (keempat) memakan riba (kelima) makan
harta anak yatim (keenam) melarikan diri dari hari pertemuan dua pasukan
(ketujuh) menuduh zina perempuan baik – baik yang tidak tahu – menahu tentang
urusan ini dan beriman kepada Allah.
c.
Hadits lain yang diriwayatkan
Muttafaq’alaih dari Abi Sa’id al-Khudry, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
لاتبيعوا
الذهب بالذهب إلا مثلا بمثل ولاتشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا الورق بالورق إلا
مثلا بمثل، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا منها غائبا بناجر
Artinya : Jangan
menukarkan emas dengan emas dan perak dengan perak melainkan dengan kuantitas
yang sama dan janganlah menukarkan suatu barang dengan barang yang sama
melainkan dengan kuantitas yang sama, dan janganlah menukarkan barang yang ada
dengan barang yang tidak ada.
‘Ali Ahmad al-Jurjawi melihat bahwa riba akan
mengakibatkan :
a.
Adanya eksploitasi (pemerasan) oleh
si kaya kepada si miskin.
b.
Uang yang dimiliki si kaya tidak disalurkan kepada hal – hal yang
produktif, misalnya pertanian, industri, dan sebagainya.
c.
Mengakibatkan kebangkrutan usaha dan pada akhirnya bisa menyebabkan konflik
jika si peminjam tidak sanggup mengembalikkan pinjamannya. [9]
Dari berbagai alasan
diatas dapat diartikan bahwa riba terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang
lemah demi kepentingan orang yang kuat dengan suatu dampak yang kurang baik
dalam kehidupan bermasyarakat yaitu yang kaya bertambah kaya sedang yang miskin
semakin miskin. Hal ini akan mengarah kepada membesarkan satu kelas masyarakat
akan kelas lain yang memungkinkan akan menimbulkan golongan sakit hati dan
dengki dan akan berakibat berkobarnya diantara anggota masyarakat serta membawa
kepada pemberontakan oleh golongan ekskrimis dan kelompok tertindas.[10]
C.
Jenis
– Jenis Riba
Secara
garis besar Riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba hutang-piutang (yad) dan riba jual-beli (bai’). Riba hutang-piutang ( yad)
terbagi menjadi dua, yaitu: riba qardh dang riba jahiliyyah. Sedangkan riba
jual-beli (bai’) terbagi menjadi dua, yaitu: riba fadhl dan riba nasi’ah.
1. Riba
hutang-piutang ( yad ):
a.
Riba qardh yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan
tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang ( muqtaridh).
b.
Riba jahiliyyah
yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu
membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.[11]
2. Riba
jual-beli (bai’)
Ada beberapa bentuk jual-beli
yang dilarang oleh Rasulullah karena dapat digolongkan riba seperti jual-beli
hewan dengan daging (hewan yang sudah mati), jual beli buah basah dan buah
kering, dan jual-beli ‘inah.[12]
a.
Riba fadhl yaitu
pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,
sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
b.
Riba nasi’ah
yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul
karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat
ini dengan yang diserahkan kemudian.[13]
D. Prinsi-prinsip Riba
Prinsip-prinsip
untuk menentukan adanya riba didalam transaksi kredit atau barter yang diambil
dari sabda rasulullah.
1. Pertukaran
barang yang sejenis dan nilainya, tetapi berbeda jumlahnya, baik secara kredit
ataupun tunai dan mengandung unsur riba.
2. Pertukaran
barang yang sama jenis dan jumlahnya, tetapi berbeda nilainya atau harganya dan
dilakukan secara kredit serta mengandung unsur riba. Pertukaran semacam ini
akan terbebas dari unsur riba apabila dijalankan dari tangan ketangan secara
tunai.
3. Pertukan
barang yang sama nilai dan harganya tetapi berbeda jenis dan kuantitasnya serta
dilakukan secara kredit dan mengandung unsur riba. Tetapi apabila pertukaran
ini dilakukan dari tangan ketangan secara tunai akan terbebas darii riba.
4. Pertukaran
yang berbeda jenis, nilainya, dan
kuantitasnya, baik secara kredit dari tangan ketangan, terbebas dari
riba, diperbolehkan.
5. Jika
barang itu campuran yang mengandung jenis dan nilainya, pertukaran dengan
kuantitas yang berbeda baik secara kredit maupun dari tangan ketangan terbebas
dari riba sehingga sah.
6. Didalam
perekonomian yang berasaskan uang, harga barang ditentukan dengan standar mata
uang suatu negara, pertukaran suatu barang yang sama dengan kuantitas berbeda,
baik secara kredit maupun tangan ketangan, keduanya terbebas dari riba, dan
oleh karenanya diperbolehkan.[14]
E. Dampak Negatif Riba
1.
Riba adalah
suatu perbuataan mengambil harta kawannya tanpa ganti.
2.
Bergantung pada
riba dapat menghalangi manusia dari kesidukan bekerja.
3.
Riba akan
menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma’ruf) antara sesama manusia dalam
bidang pinjam-meminjam
4.
Pada umumnya
pemberi piutang adalah orang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak
mampu.
Sesungguhnya riba merupakan salah
satu bentuk transaksi yang sangat dilarang oleh islam. Hal ini karena riba itu
sendiri membawa dampak negative setidaknya dalam dua aspek meliputi.
a.
Dampak ekonomi
Dampak ekonomi riba adalah dampak
inflatoir yang diakibatkan oleh bunga sebagai biaya uang, karena salah satu
elemen dari penentuaan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga,
semakin tinggi juga harga yang akan ditetapka pada suatu barang.
Dampak yang lain adalah utang, semakin
rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga akan menjadikan
peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan. Terlebih lagi bila bunga atas
utang tersebut dibungakan.
b.
Dampak sosial
kemasyarakatan
Riba merupakan pendapatan yang
didapatkan dengan tidak adil karena terdapat pemaksaan mengembalikan pada
waktunya, jika melebihi maka akan terdapat tambahan dalam pengembalian hutang
atau pinjaman tersebut. Padahal belum tentu peminjam mampu mengembalikan tempat
waktu dan membayar kelebihan – kelebihan yang ditentukan.[15]
F.
Riba
pada Bunga Bank
Bunga pada bank adalah
suatu hal yang sangat identik dengan sistem operasional perbankan konvensional.
Sistem bunga ini telah ada sejak abad ke-16 dan semakin berkembang karena
dipengaruhi oleh adanya kebolehan menerapkan
bunga oleh penguasa Vatikan pada akhir tahun 1836. Oleh karena itu, jika
praktek bunga tidak diterapkan, maka sistem perbankan tidak akan bergerak dan
akhirnya perekonomian tidak akan berkembang.
Dalam istilah bahasa
Inggris, bunga bank lebih populer disebut sebagai interest walaupun ada
juga yang menyebutnya sebagai usury. Jadi interest atau bunga
merupakan uang yang dikenakan atau dibebankan atau dibayarkan akibat adanya
penggunaan uang yang dipinjam berdasarkan kadar tertentu.
Jika dihubungkan dengan
riba, istilah bunga terlihat tidak ada bedanya. Ini dapat dibandingkan dengan
pengertian riba, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh beberapa definisi
sebelumnya yaitu merupakan suatu akad yang memberikan kompensasi atau ganti
rugi akibat penangguhan atau selainnya yang tidak ada ketentuannya pada syara’.
Ini berarti dapat disimpulkan bahwa bunga bank itu adalah riba.[16]
Para ulama tidak
mengemukakan pendapat yang sama, ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang
tidak mengharamkan dan ada juga yang memandangnya sebagai shubhat.
a.
Pihak yang
memandang sebagai shubhat, seperti di Indonesia oleh pendapat Majlis Tarjih Muhammadiyah
pada tahun 1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank
kepada nasabah atau sebaliknya termasuk ke dalam shubhat, artinya belum jelas
halal atau haramnya. Sesuai dengan petunjuk hadits, umat Islam harus hati-hati
menghadapi hal-hal yang shubhat. Oleh karena itu, jika dalam keadaan terpaksa
atau hajah (keperluan yang mendesak dan penting), dibolehkan bermuamalah dengan
bank yang menggunakan sistem bunga ala
kadar saja.
b.
Bagi yang
berpendapat bahwa bunga bank tidak diharamkan dalam Islam sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ibrahim Hosen (Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia, pada
tahun 80-an), dengan beberapa bentuk dasar pemikiran: pertama, dalam keadaan
darurat, bunga bank dibolehkan. Kedua, yang dilarang itu hanya bunga yang
berlipat ganda saja, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi
hukumnya dibolehkan. Ketiga, bank sebagai lembaga tidak termasuk dalam kategori
mukallaf, berarti tidak termasuk ke dalam yang terkena khitab ayat-ayat
dan hadits riba.
Pendapat seperti diatas telah memancing
tanggapan dari para ulama seperti Muhammad Syafi’i Antonio, Pakar Ekonomi Islam
di Indonesia.
Menurut Antonio, al-darurah atau
juga al-hajah harus diberi batas yang jelas, agar dapat memberi peluang
untuk membolehkan sesuatu yang diharamkan. Batas itu harus sesuai dengan
garisan metodologi Ushul al- Fiqh, khususnya Qa’idah Fiqhiyyah
seperti: darurat harus dibatasi sesuai dengan kadarnya.
Abu Zahrah memandang dari pandangan berbeda
bahwa penggunaan darurat ini dibolehkan pada peringkat individu karena
perbuatan meminjam secara riba bukan menjadi pilihannya, tetapi tidak pada
peringkat institusi.
Artinya dalam konteks bunga bank ini,
pemanfaatan bunga bank yang dipandang dalam keadaan darurat hanya terbatas pada
saat tidak adanya sistem yang tidak menggenakan bunga. Jika sudah ada lembaga
keuangan yang tidak menggenakan bunga maka kebolehan pemanfaatan bunga bank akan
hilang.[17]
Sanhuri berpendapat bahwa dalam suatu
sistem ekonomi kapitalis, model dimiliki oleh perorangan, lembaga, dan
bank-bank, bukan dimiliki oleh pemrintah. Ada kepentingan umum bagi pengusaha
untuk mendapatkan modal guna investasi. Selagi ada keperluan untuk mendapatkan
modal dengan cara pinjaman dan modal tersebut tidak dimiliki oleh pemerintah,
bunga atas modal itu dengan batas rendah dinyatakan halal, sebagai
pengecualian. Begitu juga halnya bagi seseorang yang memiliki tabungan hasil
kerja kerasnya, ia memiliki kewajiban untuk tidak berbuat dzalim dan juga
berhak untuk tidak didzalimi.
Untuk iku menurut Sanhuri, hukum harus
menetapkan batas suku bunga, aturan pembayaran, dan jumlah keseluruhan bunga
yang harus dibayarkan sehingga bisa dibuat perkiraan apa yang diperlukan untuk
setiap kasus tertentu.[18]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bank
sebagai badan hukum tidak dikenakan hukum taklif tentang riba. Hal ini
dibahas dengan lebih mendalam oleh Antonio bahwa pendapat ini mempunyai banyak
kelemahan karena menyertakan sejarah yang menunjukkan bahwa tidak benar pada
zaman pra Islam tidak terdapat badan hukum sama sekali. Sejarah Romawi, Persia
dan Yunani telah menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan
dari penguasa dan telah masuk ke dalam lembaran Negara. Jika dilihat pada sudut
tingkat kemudharatan, perusahaan dapat melakukan kemudharatan jauh lebih besar
berbanding individu.[19]
Di samping itu, ada pendapat yang memilih
bahwa bunga bank dilihat antara pinjaman konsumtif dan produktif. Seorang pakar
dari Syria, yaitu Duwalibi, berpendapat bahwa bunga pada pinjaman produktif
adalah halal sedangkan bunga pada pinjaman konsumtif adalah diharamkan.
Pendapat ini didasarkan dengan pandangan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tentang riba
ini turun dalam konteks membebaskan penderitaan kaum miskin, melarat, dan
kumpulan masyarakat lemah, serta mereka yang terjerat dengan hutang dan tidak
sanggup membayarnya maka haram itu hanya terbatas kepada pinjaman untuk
konsumtif.
Pandangan tersebut menimbulkan bantahan,
karena pinjaman-pinjaman yang ada pada zaman pra Islam dan masa pengharaman
riba itu adalah berbentuk produktif. Riwayat-riwayat yang ada menunjukkan bahwa
sebagian suku biasanya meminjam uang dari suku yang lain untuk perdagangan dan
peleburan.[20]
c.
Pandangan
mayoritas para ulama dan mufti menyatakan bahwa bunga bank itu ialah riba dan
diharamkan, seperti halnya hasil fatwa OKI dalam persidangan Karachi, Pakistan
tahun 1970. Hal ini didasari bahwa Islam memberi landasan dalam mengembalikan
suatu pinjaman, hanya hutang pokoknya saja yang harus dikembalikan kepada
pengkredit. Oleh karena itu, setiap tambahan yang ditetapkan di awal melebihi
pokok pinjaman ialah riba.
Bagaimana
halnya apabila pemerintah terlibat dalam sistem bank konvensional itu? Apakah
akan merubah status riba pada bunganya?
Menurut
Yusuf, yang dinamakan riba tetap disebut riba walaupun pemerintah berperan
sebagai fasilitator industri perbankan. Hal ini akan merangsang orang banyak
untuk melakukan riba melalui perbankan konvensional. Langkah yang lebih baik
ialah pemerintah mengajak orang banyak untuk melakukan proyek-proyek pemerintah
yang sedang dijalankan dan memikul bersama risiko yang ditimbulkan melalui
sistem penyertaan.
Bunga
bank dipandang sebagai sesuatu yang membawa kepada ketidak adilan walaupun
pemerintah sebenarnya menuntut agar antara pemodal dan pengusaha perlu saling
berteman, saling menyokong dan melengkapi (mutual partnership) bukan
memberikan prioritas dan kelebihan bagi satu pihak saja.[21]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.
Riba adalah
kelebihan pembayaran, yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang
melakukan transaksi, baik tambahan itu berasal dari dirinya, maupun berasal
dari luar berupa imbalan.
2.
Dasar hukum
pelangaran riba ada empat yaitu :
1).
Agama Yahudi, tercantum dalam kitab
Perjanjian Lamanya dan undang – undang Talmud.
2).
Agama Kristen, dalam Perjanjian Barunya tidak menyebutkan permasalahan bunga
secara jelas. Namun, sebagai kaum Kristiani menganggap larangan riba terdapat
dalam kitab Injil Lukas.
3).
Yunani dan Romawi, para ahli filsafat Yunani dan Romawi menganggap bahwa bunga
adalah sesuatu yang hina dan keji.
4).
Agama Islam, menurut ajaran Islam, riba merupakan perbuatan orang – orang yang
tidak beriman dan sebagai ujian bagi orang – orang yang beriman.
3.
Jenis – jenis
riba, secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba
hutang-piutang (yad) dan riba
jual-beli (bai’). Riba hutang-piutang
( yad) terbagi menjadi dua, yaitu: riba qardh dang riba jahiliyyah. Sedangkan
riba jual-beli (bai’) terbagi menjadi dua, yaitu: riba fadhl dan riba nasi’ah.
4.
Prinsi-prinsip
riba, prinsip-prinsip untuk menentukan adanya riba didalam transaksi kredit
atau barter yang diambil dari sabda Rasulullah.
5.
Dampak negative riba, riba dapat membawa dampak yang
tidak baik diantaranya adalah dampak ekonomi dan dampak sosial kemasyarakatan.
6.
Para ulama mengemukakan pendapat yang berbeda
tentang hukum riba pada bunga bank,
ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang tidak mengharamkan dan ada juga
yang memandangnya sebagai shubhat.
DAFTAR PUSTAKA
Iska,
Syukri. 2012. Sistem Perbankan Syariah di Indonesia dalam Perspektif Fikih Ekonomi. Yogyakarta : Media
Press.
Saeed, Abdullah. 2004. Bank Islam dan
Bunga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sumar’in. 2012. Konsep
Kelembagaan Bank Syariah. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar